Pasir itu seperti berbisik. Ia seakan memandu tangan Arya. Diringi iringan suling, jemari Arya terus bergerak. Pasir-pasir itu menuruti gerak jemari. Pasir itu membentuk sebuah lukisan. Lukisan yang menggambarkan kehidupan nelayan.

Di tengah Arya melukis dengan pasir, seorang gadis cantik mendekatinya.

“Hai, masih ingat aku?”

Arya menatap gadis itu. Gadis berambut panjang itu mengingatkannya pada teman kecilnya. Meskipun hampir lima belas tahun tidak bertemu, Arya masih ingat lesung pipinya.

“Niken?” tanya Arya ragu.

Niken tersenyum. Lesung pipinya mengembang.

“Ya, kamu masih mengingatku?” balas Niken malu-malu.

“Ya, tentu saja. Kita selalu bertemu jika ada lomba melukis. Dan kita selalu menjadi juara. Jika bukan kamu, aku yang menjadi juaranya.”

Niken tersenyum lebar. Ia teringat masa kecilnya. Di mana ada lomba melukis, ia selalu ikut. Masa kecil Niken berada di sebuah kota yang terkenal dengan tapenya. Tak hanya tape, kota itu terkenal dengan sejarahnya. Di Bondowoso inilah Niken dan Arya melalui masa kecilnya.

“Arya, aku minta maaf padamu?”

“Minta maaf?”

“Kamu masih ingat saat perlombaan melukis di Pantai Pasir Putih?”

Arya mencoba mengingatnya. Pantai yang indah dan bersih itu sering ia kunjungi. Pantainya nyaman dan aman untuk berenang.

Lima belas tahun lalu Arya dan Niken mengikuti lomba melukis di Pantai Pasir Putih. Saat itu Niken menjadi juara pertama. Sedangkan, Arya menjadi juara dua. Perlombaan itulah terakhir kalinya mereka bertemu. Setelahnya, Arya pindah ke Purworejo.

“Kok malah melamun? Mau memaafkan nggak?” bujuk Niken penuh penyesalan.

“Masalahnya apa?” tanya Arya bingung.

Niken berusaha menenangkan diri. Tak mudah mengakui kesalahan meski kejadiannya sudah bertahun lalu. Sudah lama Niken ingin bicara jujur, tetapi ia tidak berani. Ia takut Arya marah dan semua orang tahu kecurangannya.

“Arya, kamulah yang pantas menjadi juaranya!” tegas Niken.

“Maksudmu?”

“Waktu itu lukisanmu terkotori pasir. Kamu berusaha membersihkannya. Namun, lukisan itu malah menjadi rusak,” sesal Niken.

“Oya? Aku lupa kejadian itu,” sahut Arya menenangkan Niken yang mulai menangis.

“Arya, akulah yang sengaja menaburkan pasir itu. Maafkan, aku, Arya, please!”

“Sudahlah, itu kejadian lama sekali. Lupakanlah.”

“Tidak. Mana mungkin aku bisa melupakannya. Aku telah berbuat curang. Aku tidak berani berkata jujur padamu!”

“Niken, aku memaafkanmu!”
“Terima kasih, Arya!”

Niken tersenyum lebar. Plong rasanya. Bertahun-tahun ia menyimpan perasaan bersalah. Kejujuran membutuhkan keberanian. Hanya orang-orang hebat yang berani jujur. *

 

logo baru nusantara bertutur

Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Acep Yonny
Pendongeng: Kang Acep (Facebook: Acep Yonny)
Ilustrasi: Regina Primalita