“Jadi mudik ke Malang, ya, Bu?” tanya Firdaus.
“Iya. Memang kenapa?”
Firdaus terdiam. Sebenarnya, bocah kelas empat itu merasa takut untuk bertemu nenek. Sebab tiga bulan silam, ia menjatuhkan kacamata nenek hingga pecah. Namun, Firdaus tidak berani mengakuinya di depan nenek.
“Besok adalah momen yang tepat untuk meminta maaf. Kita sungkeman ke nenek.” Ibu seolah-olah bisa membaca pikiran Firdaus.
Sungkeman adalah tradisi Jawa untuk meminta maaf pada orang tua seusai salat Idul Fitri. Hingga sekarang, keluarga besar Firdaus masih melestarikan warisan adat istiadat tersebut.
“Kenapa harus sungkeman, Bu? Minta maaf dengan berjabat tangan, kan, bisa.”
“Karena sungkeman merupakan bentuk penghormatan sekaligus tanda bakti anak ke orangtuanya.”
Firdaus manggut-manggut.
Waktu berlalu begitu cepat. Untuk menghindari kemacetan, Firdaus sekeluarga mudik ke rumah nenek menjelang tengah malam.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, mereka pun sampai di rumah nenek.
Jam setengah enam pagi, Firdaus sekeluarga beserta nenek menuju masjid untuk melakukan shalat Idul Fitri.
Usai shalat, setelah semua anggota keluarga sampai di rumah, tradisi sungkeman pun dimulai.
Mula-mula, ayah duduk di kursi. Ibu berjongkok di depan ayah dengan kepala menunduk. Kemudian, ibu mencium tangan ayah seraya meminta maaf.
Firdaus menirukannya. Ia menyungkem ke ibu terlebih dulu, baru ke ayah. Selepas prosesi sungkeman keluarga inti, berturut-turut ayah, ibu, dan Firdaus sungkem ke nenek.
“Maafkan Firdaus, Nek. Firdaus tidak sengaja menjatuhkan kacamata nenek tiga bulan silam,” tutur Firdaus ketika sungkem.
“Nenek sudah tahu.” Nenek mencium pucuk kepala Firdaus. “Jangan khawatir, kacamata tersebut memang sudah retak dan waktunya diganti.”
Firdaus lega mendengarnya.
Tiba-tiba, terdengar ucapan salam. Saudara-saudara ibu beserta keluarga mereka yang dari luar kota datang berkunjung. Mereka melakukan prosesi sungkeman terlebih dulu ke nenek, kemudian saling bersalam-salaman dengan keluarga Firdaus.
“Ayo, sekarang kita makan,” ajak nenek gembira melihat semua anak, menantu dan cucunya berkumpul dalam suasana lebaran.
Tanpa buang waktu, Firdaus dan sepupu-sepupunya segera menyerbu meja makan. Mereka antusias menikmati nasi krawu, ketupat, dan opor ayam.
Firdaus makan dengan hati riang. Benar kata ibu, setelah sungkem ke nenek, hatinya sekarang terasa plong. *
Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Elisa DS
Ilustrasi: Regina Primalita
Penutur: Paman Gery (@paman_gery)