Siapa teman terbaik traveling? Diri sendiri. Segelintir orang–entah disertai rasa antusias atau waswas–mengambil keputusan untuk berwisata sendirian. Untuk pulang dengan pengenalan lebih dalam akan diri sendiri dan cakrawala yang terbuka lebih luas untuk memandang dunia.

Perempuan yang baru saja turun dari kapal itu merapat ke deretan warung makan di pantai Bunaken. Grazielle dari Italia. “Saya baru saja menyelam di Fukui Point. Beruntung sekali kalian, orang Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk menikmati keindahan seperti ini,” katanya.

Sambil mengibaskan rambutnya yang masih basah dan lengket air laut, Grazielle bercerita, beberapa waktu belakangan ia pergi seorang diri dari negaranya, menjelajah pulau dan laut Indonesia. Bali, Pulau Komodo, Bunaken, dan sejumlah pulau lain disebutnya. Usianya 70 tahun.

Foto-foto : Tommy Budi Utomo

Bepergian tunggal atau solo travelling kini menjadi pilihan yang kerap diambil para pelancong. “Saya merasa lebih independen dengan bepergian seorang diri. Saya tidak bergantung pada siapa pun dalam pengambilan keputusan terkait perjalanan ini. Lebih dari itu, ini menjadi momen berharga untuk mendengarkan kembali diri saya sendiri,” ujar Grazielle.

Usia yang matang juga bukan penghalang untuk bepergian seorang diri. Survei yang dilansir Solo Traveler World bahkan menunjukkan, 60 persen wisatawan solo adalah orang yang berusia di atas 50 tahun.

“Saya selalu merasa bugar setelah menyelam dan menghirup udara laut. Kalau tidak ke mana-mana mungkin saya malah tidak bahagia,” tutur Grazielle sambil tertawa.

Banyak alasan yang mendorong orang untuk berkelana seorang diri. Sebagian kecil, seperti diungkapkan Grazielle, terhubung kembali dengan diri sendiri. Dirangkum dari sejumlah survei, para pelancong memutuskan bepergian sendirian karena mereka memiliki waktu lebih banyak untuk berwisata ketimbang keluarga atau teman yang bisa mereka ajak, memiliki minat tertentu dalam berwisata, ingin belajar skil baru, dan ingin merasakan pengalaman budaya dari penduduk lokal.

Kian diminati

Beberapa tahun belakangan, di lingkup global tren berwisata tunggal meningkat tajam. Persentasenya memang tak seberapa ketimbang wisatawan yang memilih bepergian bersama orang lain. Hanya 11 persen menurut situs web wisata G Adventures. Namun, jumlah ini pun sudah melonjak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2008, orang yang berwisata tunggal meningkat 134 persen.

Dibandingkan dengan laki-laki, wisatawan perempuan juga lebih tertarik akan perjalanan berwisata seorang diri. Lebih dari 80 persen wisatawan solo adalah perempuan. Setiap tahunnya, sebanyak 9 juta pelancong perempuan dari Amerika Serikat bepergian sendiri ke luar negeri.

Dari sisi psikologis, berwisata solo juga memberikan banyak pengaruh positif. Perjalanan membuat kesadaran meningkat, mirip efek yang didapatkan dari bermeditasi. Hal ini menurunkan produksi hormon kortisol yang menyebabkan stres. Ditambah lagi, kita memperoleh beragam pengalaman menyenangkan dari perjalanan.

Bepergian sendirian juga melatih kita menjadi lebih solutif. Dalam perjalanan, pelancong kadang-kadang bertemu kendala, entah tidak mendapati tempat menukar uang, terlambat mengejar jadwal bus atau kereta, komunikasi beda bahasa, tersesat, dan sebagainya.

Apa pun hambatannya, kita akan mencari cara untuk memecahkan masalah itu, yang bahkan tidak Anda sangka-sangka. Hal ini membuat kita lebih mudah beradaptasi dalam situasi baru dan percaya pada diri sendiri. Tertarik untuk berkelana seorang diri? [NOV]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 Januari 2018