Dalam budaya Bali, air memiliki hubungan erat dengan sistem pertanian tradisional yang dikenal sebagai subak. Air dihormati sebagai sumber kehidupan dan kesuburan, dan subak memastikan distribusi air yang adil dan berkelanjutan bagi para petani.

Hari masih dingin dengan aroma pagi yang basah. Waktu menunjukkan pukul 7 WITA saat I Gede Nyoman Sumertayasa (43) baru saja selesai menyabit rumput untuk pakan seekor sapi di kandang belakang rumahnya. Hari itu, Kamis (23/5/2024), ia memiliki kesempatan untuk sejenak mencari rumput, sebab malam sebelumnya hingga pagi tidak turun hujan.

“Debit air di bendung aman. Jadi, saya bisa cari pakan sapi dulu, lalu berangkat ke bendung sekitar pukul 8 (pagi),” kata Nyoman. Jarak rumahnya ke bendung tak jauh, sekitar 1 kilometer saja. Ia bekerja sebagai penjaga bendung Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali, sejak 2015.

Penjaga bendung Subak Jatiluwih berada di bawah koordinasi Badan Wilayah Sungai (BWS) Tabanan. BWS adalah lembaga di bawah Kementerian PUPR. Kementerian PUPR melalui Ditjen Sumber Daya Air mendukung konservasi persawahan Jatiluwih dengan mengoperasikan bendung dan saluran pengairan berkapasitas 119 liter per detik.

Sebagai penjaga bendung, tugas keseharian Nyoman adalah mengawasi dan membuka-tutup pintu intake air. Kalau turun hujan, ia segera menutup pintu intake agar saluran primer tidak kebanjiran. Setelah debit airnya turun selepas hujan, ia akan membukanya lagi.

“Jika hujannya turun sore atau malam hari, pintu intake segera kita tutup sampai keesokan harinya,” katanya.

Nyoman memberi gambaran, dari bendung, air dialirkan menuju saluran primer lalu dibagi lagi ke saluruan sekunder hingga saluran tersier. Namun, di Jatiluwih tidak ada saluran sekunder. Yang tersedia adalah bangunan bagi-sadap. Bangunan ini berfungsi membagi air ke beberapa saluran dan meneruskan air ke petak-petak sawah.

Terkait jam kerja, Nyoman bisa bekerja setiap hari dari pagi sampai malam. “Misalnya, hujan turun malam atau dini hari, mau tidak mau saya harus pergi ke bendung untuk melihat debit air dan menutup pintu intake. Jadi, siang-malam harus bersiaga,” sebutnya.

Meski demikian, ia mengaku menikmati rutinitasnya sebagai penjaga bendung. Profesinya ini untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Nyoman dikaruniai dua orang anak. “Istri saya ikut bantu bekerja sebagai pembersih bendung dan pintu-pintu intake,” ujarnya.

Sesekali, ia juga mengoperasikan mesin pemotong rumput untuk merapikan lingkungan di sekitar bendung. “Saya juga membantu membersihkan area sekitar bendung. Jatiluwih sudah menjadi ikon wisata Bali. Jadi, harus kita jaga kerapian dan kebersihannya,” ucapnya.

Sepanjang Mei lalu, bersamaan dengan penyelenggaraan World Water Forum ke-10, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Jatiluwih mencapai 1.200-1.500 orang per hari.

Ada kalanya Nyoman berjibaku dengan situasi yang merepotkan. Ini terjadi bila turun hujan lebat. Di Jatiluwih ada beberapa pintu intake yang harus ia kontrol. Kalau dia pantau sendirian jelas kewalahan dengan kecepatan aliran air pascahujan deras.

“Saya tidak mungkin lari kesana-kemari untuk menutup semua pintu air. Jadi, saya minta bantuan istri. Sebab, kalau minta bantuan kepada orang lain tidak enak bila tidak memberi imbalan. Istri saya iklas melakukannya,” akunya.

Sumber air Jatiluwih berasal dari beberapa tukad (sungai), di antaranya Yeh Ho, Yeh Baat, Munduk Abangan, dan Yeh Pusut. Ada juga suplesi mata air yang hulunya terletak di Gunung Sari.

Di balik keindahan gradasi warna terasering Jatiluwih, terselip ikhtiar dari sosok-sosok bersahaja seperti Nyoman. Mereka bekerja dan berbela rasa untuk memastikan setiap tetes air sampai ke sawah-sawah petani, sembari merawat budaya leluhur Bali.

Subak membumikan Tri Hita Karana

Subak Jatiluwih hanyalah satu dari sekian banyak subak di Bali. Subak diperkirakan telah ada sejak abad ke-9. Pada Prasasti Trunyan yang berasal dari tahun 881 masehi terdapat kata kasuwakan yang berarti daerah subak. Sistem ini terkait hukum adat dan memiliki ciri khas, yaitu keterhubungan antara perilaku sosial, pertanian, dan keagamaan.

Bagi masyarakat Bali, subak menjadi cara membumikan Tri Hita Karana. Filosofi ini memandang Tuhan, manusia, dan alam adalah elemen saling terkait dan keseimbangannya harus terjaga. Subak menuntun manusia agar bergotong royong dan berbela rasa memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta selalu bersyukur kepada Tuhan.

Dalam 10th World Water Forum, Indonesia bersama UNESCO berkomitmen melestarikan subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu, dalam diskusi “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management”, Selasa (21/5), mengatakan, manusia harus merefleksikan kembali hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengonsumsi dan mengolah air. Subak ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 29 Juni 2012.

Baca juga: Serunya Berwisata Sepeda di Lombok, Yogyakarta, dan Bali