Jemari Francis Dimara mencengkeram ketam kenari yang jauh lebih besar dari bentangan telapak tangannya itu. Ia memasukkannya ke karung, lantas mengikat ujungnya dengan tali. Ketam-ketam itu akan dipindahkan dari Pulau Kasuari Besar, tempat asalnya, ke Pulau Kasuari Kecil.
Francis mengizinkan kami ikut naik di atas perahunya yang kecil memanjang. Dengan perahu inilah kami akan menuju Kasuari Kecil, pulau mungil di dekat Kasuari Besar di kawasan Raja Ampat, Papua Barat.
Meski antusias, kami waswas juga. Seekor ketam dipegang dengan tangan telanjang begitu saja oleh Francis karena karung sudah penuh. Kami ingat ujaran Francis sebelumnya, “Capitnya kuat sekali, bisa putus jari kalau dicapit ketam ini.”
Terbayang betapa kuatnya, capit itu digunakan untuk meretas buah kelapa—makanan utama ketam ini—dari tangkainya yang keras. Namun, Francis menghibur. Katanya, tenang saja, ia tahu benar bagaimana menghindari capitan ketam kenari.
Empat orang dan lima kepiting kenari di atas perahu itu pun melaju ke Kasuari Kecil. Menembus lorong-lorong yang terbentuk dari lengkungan dahan-dahan bakau. Bahkan gelap lanskap masih terasa pekat meski malam itu purnama dan kami sudah berbekal senter. Di permukaan laut, cahaya putih kebiruan berpendar dari sekumpulan plankton.
Kasuari Kecil tidak jauh, bisa ditempuh dalam sekitar 10 menit saja dari Kasuari Besar. Bakau memadati tepian pulau yang serupa gundukan bukit itu. Menenteng karung, Francis menjejak daratan pulau, lantas membuka ikatan karung. Ia melepas ketam-ketam itu dan meninggalkan beberapa butir kelapa.
“Ditambah dengan yang kita lepas malam ini, berarti sudah 275 ekor ketam saya lepas di pulau ini,” kata Francis, Kamis (9/11).
Ia ingat benar kali pertama ia melepas ketam kenari. Pada 22 November 2016, sebanyak 40 ekor. Ia rutin mencatat tanggal pemindahan kepiting beserta jumlahnya pada potongan kertas kardus yang selalu disimpannya.
Tindakannya memindahkan ketam-ketam kenari ke Kasuari Kecil adalah perwujudan niatnya mengonservasi hewan yang jumlahnya kian sedikit itu. Selama ini, orang-orang menangkapi ketam kenari di beberapa pulau di Raja Ampat, termasuk Pulau Kasuari Besar, untuk dijual.
Harganya tinggi. Per ekornya berkisar Rp 100 ribu sampai dengan Rp 300 ribu, tergantung besarnya. Ketam ini memang bisa mencapai ukuran yang besar, dengan panjang sekitar 40 sentimeter dan berat per ekor 4 kilogram. Francis bercerita, ia dahulu juga kerap mencari kepiting-kepiting itu dan menjualnya.
“Sekarang saya sudah tidak menjual ketam lagi. Ketam-ketam yang hidup di Kasuari Kecil harus dibiarkan berkembang biak dan tidak boleh ditangkapi,” tutur Francis.
Kesadaran ini juga dipicu teguran dari salah seorang kerabatnya, Daud Dimara. “Dulu, saya pernah bilang sama Bapa Francis. Kalau ketam ini kita jual-jual terus, jangan bermimpi nanti anak cucu Bapak bisa lihat ketam. Jangankan makan, lihat saja tidak bisa,” begitu Daud mengingat lagi momen ketika ia berbincang dengan Francis.
Status F2
Ketam kenari (Birgus latro) adalah kelompok artropoda darat terbesar di dunia. Sebenarnya penyebutan ketam atau kepiting tidak tepat karena hewan ini masuk dalam kekerabatan umang-umang darat (Ceonobita).
Data tentang populasi ketam kenari di Indonesia sangat kurang, tetapi dilaporkan jumlahnya menurun secara signifikan karena terus dieksploitasi sebagai sumber protein hewani. Secara hukum, Indonesia menetapkan ketam kenari sebagai hewan yang dilindungi lewat PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan satwa liar. Kini, penyebaran hewan nokturnal ini terbatas pada pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Nikka Gunadharma, Communication and Outreach Coordinator Conservation International (CI), yang turut mendampingi masyarakat dalam mengonservasi sumber daya alam beberapa kawasan di Raja Ampat mengatakan, saat ini status ketam kenari adalah F2. Artinya, hanya cucu dari generasi pertama di tempat penangkaran yang bisa diperjualbelikan.
Sekarang, Kasuari Kecil memang belum resmi menjadi tempat penangkaran ketam kenari. Namun, ke depannya, pulau itu diproyeksikan dapat menjadi area penangkaran. Dukungan-dukungan terus diupayakan. CI juga berkoordinasi dengan sejumlah pihak, termasuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat untuk merealisasikan hal itu.
Suaka baru bagi ketam kenari di Kasuari Kecil mungkin baru awalan. Jika masyarakat kian sadar akan konservasi terhadap hewan ini dan bisa memiliki alternatif kegiatan ekonomi lain, kelak akan muncul tempat-tempat perlindungan yang lain. Dengan adanya area penangkaran, jaminan keberlanjutan ketam kenari pada masa depan akan lebih besar.
Oleh Fellycia Novka Kuaranita & Mi Rani Adityasari
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 27 November 2017