Kecintaannya pada Indonesia dan keprihatinan terhadap petani di Tanah Air membuat Helianti Hilman pindah kuadran, dari konsultan lembaga internasional menjadi pemasar pangan Nusantara. Melalui Javara Indigenous Indonesia, Heli mewujudkan asa menjaga warisan keanekaragaman hayati Indonesia dan profesi petani.

Kini, Javara sudah berhasil memproduksi 750 jenis produk, 250 di antaranya sudah tersertifikasi. Produknya terdiri atas minyak kelapa, garam dapur, madu hingga beras. Sebanyak 120 produk sudah diekspor ke 21 negara di 4 benua. Negara tujuan ekspornya tidak main-main, seperti Swiss dan Jepang, yang memiliki standar kualitas makanan tinggi.

“Kami memilih untuk ekspor bukan berarti kami fancy dengan ekspor dan pasar domestik tidak menjanjikan. Pada 2008, saat pertama kali Javara mulai, responsnya sebenarnya bagus, tetapi pertumbuhan penjualannya kecil. Jadi, ekspor itu merupakan the most visible option at that time,” ujar Heli.

Kebutuhan untuk peningkatan penjualan bukan semata-mata untuk kepentingan bisnis. Javara kini sudah bekerja sama dengan lebih dari 52 ribu petani dan berjaringan hingga 1 juta petani. Jadi, semakin baik bisnis Javara, semakin sejahtera juga petani itu.

Hal tersebut secara tidak langsung berarti Javara membantu menguatkan industri pertanian, tetapi yang paling penting profesi petani tidak punah. Sebab, profesi tersebut semakin turun dari tahun ke tahun, dan ini memprihatinkan.

“Javara didesain memang bukan sebagai bisnis, tetapi menyediakan solusi dari masalah. Apakah masalah itu? Pertama, kepunahan keanekaragaman hayati dan kedua, kepunahan profesi petani,” kata Heli.

Kesempatan emas

Swiss yang dikenal sebagai negara dengan standar kualitas pangan tertinggi merupakan negara pertama yang menerima produk Javara. Berawal dari tekad untuk mengekspor produknya, Heli mendapatkan informasi dari mesin pencari Google untuk kesempatan mengekspor ke Swiss. Saat itu, Swiss memang mencari perusahaan suplai produk ke Swiss dan Eropa dari negara berkembang.

Heli harus melakukan proses pengecekan produk lagi untuk mendapatkan sertifikasi. Padahal, waktu itu Javara sudah mengantongi sertifikasi yang sama dengan luar negeri. Javara mendapatkan pendampingan selama 3 tahun dari pihak Swiss. Heli mendapatkan ilmu teknik sales speech, pembuatan kemasan, hingga melakukan riset pasar.

“Memang tidak mudah, tetapi tidak susah. Kita berpikir awalnya akan sulit, ternyata pas kita pahami lebih dalam, ternyata tidak sesulit itu. Walaupun memang, banyak formulir yang harus diisi dan di situlah kerumitannya. Tetapi, kalau kita ikuti satu per satu, izinnya pasti keluar. Saat mengisi formulir itu, kami juga didampingi oleh pihak dari Swiss. Jadi, bedakan, antara rumit dan sulit,” ujar perempuan lulusan Kings College University of London, Inggris ini.

Pendampingan ini juga membuka mata Heli bahwa berpameran itu tidak semudah yang dibayangkan. Heli belajar mengenai bagaimana soal kemasan yang representatif, pembuatan poster dan desain interior booth.

“Mereka bahkan sampai menurunkan tim ahli dari desain komunikasi untuk membantu desain poster promosi kami. Lalu, desain interior untuk desain booth. Sementara itu, untuk sales speech, tim communication specialist langsung memberikan supervisi. Tidak hanya itu, kesempatan emas yang kami dapatkan adalah bisa memilih perusahaan mana untuk dilakukan studi banding dan pembelajaran,” ujar Heli.

Kenali pasar

Salah satu kunci dari kesuksesan Javara, menurut Heli, karena kemampuan untuk melihat kebutuhan pasar. Salah satunya, Biscotti, produk biskuit kelapa, atau yang biasa kita kenal dengan nama kue sagon. Javara mengembangkan berbagai rasa sagon itu, mulai dari orisinal, biji cokelat, kacang mede, jahe, atau vanila. Namun, semuanya disesuaikan dengan negara tujuan.

Biscotti ke Italia biasanya dibuat lebih keras karena kebiasaan orang Italia yang sering  mencelupkan biskuit ke kopi. Jadi, saat dicelupkan tidak hancur. Sementara itu, Biscotti yang diekspor ke Amerika Serikat biasanya punya rasa lebih manis karena kegemaran orang AS menyantap makanan manis. Berbeda lagi dengan Biscotti yang dikirim ke Inggris. Biscotti untuk orang Inggris biasanya lebih creamy dan buttery.

“Kita berusaha profil rasa setiap negara tujuan ekspor. Walaupun merek dan produknya sama, tidak kita generalisasi karena faktor kebiasaan dan cita rasa itu. Dari situ, kita bisa tahu produk yang sesuai dengan karakter penduduk di negara tersebut,” ucap Heli.

Lalu, bagaimana cara untuk mengetahui profil rasa setiap negara itu? Heli mengatakan, hadir di pameran dagang internasional jadi kunci. Dia bercerita, saat Javara belum memiliki nama, datang dan berpameran di luar negeri menjadi keharusan. Sebab, biasanya di situlah kerja sama bisnis bisa terbentuk.

Sampai sekarang, Javara masih tetap mengikuti pameran dagang. Namun, sekarang, Javara ikut pameran berdasarkan riset dan kebutuhan perusahaan. Biasanya, pameran dengan signifikansi dan berdampak bagus untuk perusahaan menjadi prioritas.

Sekarang, Heli melalui Javara sedang mengembangkan inisiatif Sekolah Seniman Pangan yang nantinya diharapkan bisa berdiri di setiap daerah wisata. Sekolah ini akan seperti sekolah kejuruan khusus untuk petani dan nelayan.

Inisiatif ini muncul karena Heli melihat setiap daerah wisata ini sebenarnya memiliki kekayaan pangan dan kuliner, tetapi justru yang ditawarkan ke turis bukan itu. “Misalnya, kalau ke gunung atau ke pantai, yang ditawarkan makannya lagi-lagi mi instan. Semoga dengan inisiatif ini, mereka bisa mengolah makanan sekitar menjadi lebih menarik bagi turis,” pungkas Heli. [VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 Oktober 2017.