Pada era globalisasi seperti saat ini, banyak berkembang perusahaan-perusahaan e-dagang (e-commerce) rintisan atau yang disebut dengan startup. Di Indonesia, beberapa startup malah telah berhasil menyandang status “unicorn”. Apa itu unicorn? Status unicorn berarti perusahaan tersebut sudah melampaui kapitalisasi pasar sebesar 1 milliar dollar AS atau jika dikonversi ke rupiah kira-kira senilai Rp 14 triliun.
Meski memiliki valuasi yang sedemikian besar, banyak perusahaan startup yang hingga saat ini belum bisa menghasilkan profit. Seperti dilaporkan CNBC Indonesia pada 4 Maret 2019, jumlah masyarakat yang belanja barang konsumsi lewat e-dagang sudah mencapai 107 juta, sejak Januari 2019. Sayangnya, banyak juga perusahaan e-dagang yang mengklaim masih mengalami kerugian.
Meskipun belum mengalami keuntungan, perusahaan-perusahaan e-dagang berani habis-habisan dalam hal promosi, atau yang biasa kita sebut dengan “bisnis bakar uang”. Perusahaan-perusahaan ini sibuk mencari valuasi seolah tanpa memperhatikan profit sama sekali.
Valuasi adalah nilai ekonomi dari sebuah bisnis. Valuasi biasanya menjadi acuan dalam mengukur potensi bisnis suatu perusahaan. Nilai dari valuasi ini digunakan untuk menentukan persentase saham kepada investor maupun untuk menentukan harga jual startup apabila terjadi merger atau akuisisi.
Praktik “bakar uang” dilakukan para pelaku startup untuk menggaet pasar sebanyak-banyaknya, dengan cara memberikan cashback, gratis ongkir (ongkos kirim), dan promosi-promosi lainnya yang didapatkan saat melakukan transaksi di startup. Lalu, kapan perusahaan-perusahaan startup akan memperoleh keuntungan?
“Bakar uang” yang dilakukan adalah untuk menciptakan pelanggan setia sehingga anggaran yang dikeluarkan bisa disebut dengan customer acquisition cost. Contohnya, salah satu perusahaan ojek online (ojol) yang sampai 2015 menerapkan tarif flat Rp 15 ribu untuk 1 kali perjalanan, 1–10 kilometer. Dengan promosi ini, masyarakat lebih tertarik menggunakan ojol dibanding ojek pangkalan yang harganya relatif mahal. Oleh karena itu, pada saat masa promosi tersebut berakhir, ojol ini sudah memiliki pelanggan yang mengalami ketergantungan atas layanannya.
Setelah perusahaan menguasai pasar, keuntungan akan lebih mudah didapat. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan ini akan mulai mengantongi laba setelah dalam persaingan berhasil menyisakan satu-dua perusahaan yang paling kuat bertahan.
Persaingan bisnis dapat semakin menyempit ketika para investor semakin berhati-hati dan mulai mengurangi aliran dana. Saat persaingan hanya tinggal menyisakan satu-dua perusahaan, yang tersisa inilah yang berpotensi menentukan tarif karena sudah tidak lagi lawan bisnis.
Contoh kisah sukses dari perusahaan yang hobi “bakar uang” adalah Amazon. Perusahaan ini berdiri sejak 1995 dan hingga 2014 masih tetap merugi. Meski merugi, Amazon telah membeli sembilan perusahaan sejak 1999 hingga 2014. Amazon bisa saja memperoleh profit sejak lama jika tidak gencar melakukan penambahan karyawan dan akuisisi perusahaan lain.
Namun, Amazon menunda keuntungan yang kecil demi keuntungan yang lebih besar di kemudian hari. Terbukti pada 2015, Amazon sudah berhasil memperoleh profit dan pada 2016 labanya meningkat hampir 300 juta dollar AS, dari 596 juta dollar AS menjadi 857 juta dollar AS. Saat ini, Amazon menguasai e-dagang dan layanan komputasi awan.
Oleh Abdul Hanief Amarullah
Mahasiswa S-2 Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia