Lima tahun terakhir, gairah startup semakin bergelora. Indikasinya jelas, dalam hitungan bulan ada banyak startup baru yang bermunculan. Tema yang ditawarkan pun unik. Mulai dari e-dagang hingga social enterprise. E-dagang terbukti cukup sukses menarik minat konsumen, tetapi bagaimana dengan startup social enterprise?
Seperti dilansir dari laman Techninasia, Angel Investment Network Indonesia (Angin) mengategorikan sebuah startup bisa dikatakan sebagai social enterprise jika mereka memenuhi tiga hal. Pertama, secara sengaja ingin mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Kedua, berusaha mencari keuntungan untuk mempertahankan bisnis. Ketiga, memiliki pola pikir kewirausahaan untuk mengembangkan bisnis mereka.
Agrikultur
Sejauh ini, mayoritas social enterprise di Indonesia yang ditemui Angin bergerak di bidang agrikultur. Hal ini seperti yang dilakukan iGrow. Mengusung tagline, “I grow my own food”, iGrow mengajak masyarakat untuk menanam sendiri makanannya.
Muhaimin Iqbal selaku pendiri iGrow menjelaskan, iGrow mengintegrasikan tiga sumber daya pertanian yang biasanya terpisah, yaitu petani, pasar, dan pemodal. iGrow adalah sebuah platform yang membantu petani lokal, lahan yang belum optimal diberdayakan, dan para investor penanaman untuk menghasilkan produk pertanian organik berkualitas tinggi.
Tahun lalu, hanya dengan pasar Indonesia, iGrow mempekerjakan 2.200 lebih petani di 1.197 hektar lebih lahan dan memperoleh lebih dari 350 ton panen kacang tanah yang baik dan berkualitas. iGrow menciptakan model pertanian baru yang scalable dan efisien.
Fintech
Selain itu, ada cukup banyak startup di bidang social enterprise yang membangun bisnis di bidang financial technology (fintech), seperti donasi (Kitabisa) dan pendidikan (Ruangguru).
Sebagai informasi, Kitabisa.com didirikan pada 2013 di bawah binaan Rhenald Kasali. Konsepnya yaitu crowdfunding (penggalangan dana) online. CEO Kitabisa.com Muhammad Alfatih Timur atau akrab dipanggil Timmy menyebut Kitabisa.com bisa juga disebut dengan kotak amal online.
“Kami menyediakan wadah bagi siapa saja yang ingin menggalang donasi secara online. Mulai dari donasi pembangunan tempat ibadah hingga pengobatan orang sakit. Akan ada halaman yang bisa disebarkan agar orang lain bisa ikut berdonasi. Setiap penggalangan dana kami charge 5 persen, kecuali donasi untuk bencana alam tak kena charge sama sekali,” ujar Timmy.
Saat ini, Kitabisa.com telah digunakan oleh ribuan penggalang dana. Mulai dari NGO global, yayasan lokal, komunitas, himpunan alumni, mahasiswa, artis, hingga individu yang ingin menggalang dana untuk tujuan sosial, membantu sesama, atau menciptakan karya.
Sementara itu, startup Ruangguru didirikan Adamas Belva Syah Devara selaku Chief Executive Officer dan Muhammad Iman Usman selaku Chief Product & Partnership Officer untuk membantu mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia.
Contohnya dengan menyediakan jasa guru privat online yang bisa “dipesan” melalui aplikasi mobile Ruangguru. Belva menjelaskan, dengan adanya aplikasi ini guru tak perlu lagi datang ke rumah siswa. Selain itu, siswa tak perlu bingung sendiri ketika mengalami kesulitan mengerjakan PR di rumah.
Investor
Dalam laporannya, Angin menyatakan sekitar 80 persen social enterprise di Indonesia masih berusia di bawah lima tahun. Mereka biasanya didirikan oleh para founder yang mulai mengikuti tren startup pada tahun 2012.
Menurut Angin, 70 persen social enterprise di Indonesia masih berada di fase validasi bisnis dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Untuk membantu akselerasi bisnis startup di bidang social enterprise, beberapa investor cukup tertarik di bidang ini.
Beberapa investor tersebut di antaranya, Angin, Root Capital, Garden Impact, Mercy Corps Social Ventures, ResponsAbility, serta Kinara. Selain itu, ada beberapa organisasi yang turut membantu, seperti UnLtd Indonesia, Endeavor Indonesia, dan Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia (Inotek). [INO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 9 Mei 2017