SUMMARY
Akhir dari trilogi Venom dan Eddie Brock (Tom Hardy) yang cenderung lebih drama. Seri terakhir ini justru memperlihatkan sisi manusiawi dari seorang alien dan bagaimana duo ini menutup dari sebuah pelarian.
Jenis Film | Action, Superhero |
Produser | Avi Arad, Tom Hardy, Kelly Marcel, Hutch Parker, Amy Pascal, Matt Tolmach |
Sutradara | Kelly Marcel |
Skenario | Kelly Marcel, Tom Hardy |
Pemeran | Tom Hardy, Juno Temple, Alanna Ubach, Stephen Graham, Chiwetel Ejiofor, Peggy Lu |
Rilisan | Sony Pictures Entertainment |
- 24 Oktober 2024
- 110 Menit
- PG-13
Venom: The Last Dance adalah akhir dari trilogi dari antisuperhero yang menarik, tetapi tidak sempurna. Walaupun memang pada akhirnya kita harus berterima kasih pada Sony karena telah memberikan kita bagian ketiga dari franchise buku komik terbesarnya ini.
Seri terakhir dari Venom ini bercerita tentang pelarian Eddie Brock (Tom Hardy) dan Venom karena mendapatkan didakwa sebagai pembunuh di seri sebelumnya. Alih-alih yang mengejar adalah polisi, keduanya juga diburu oleh pasukan khusus yang dipimpin Rex Strickland (Chiwetel Ejiofor) dan sekumpulan “serangga” alien yang dikirim oleh Knull, pencipta simbiot.
Eddie dan Venom diburu karena mereka memiliki kodeks, sebuah energi yang bisa melepaskan Knull dari penjara yang dibuat oleh pasukan simbiot yang ironisnya dibuat oleh dirinya sendiri.
Eddie sempat tertangkap oleh Strickland dan ingin diperiksa oleh Dr Payne (Juno Temple) dan dibawa ke Area 55, area rahasia penelitian simbiot setelah Area 51 akan segera ditutup.
Namun, pada akhirnya, Eddie dan Venom malah bahu membahu bersama Strickland untuk mengalahkan pasukan Knull dan menyelamatkan bumi.
Jargon kosong pemeran kawakan
Hal terbaik dari film Venom adalah Venom itu sendiri. Kehadiran pemain sekelas Tom Hardy, Juno Temple, dan Chiwetel Ejiofor seharusnya membuat film Venom seri terakhir ini menjadi sebuah film yang memorable.
Bagaimana tidak, kehadiran alien simbiot yang beragam dengan berbagai warna dan bentuk, adegan memakan kepala orang jahat, hingga pertarungan antar alien dengan berbagai ledakan-ledakan pelengkap seharusnya membuat Venom semakin menyenangkan untuk dilihat.
Namun, sepertinya sang sutradara lupa untuk menyediakan waktu mengeksplorasi karakter pemainnya dengan lebih optimal. Mereka seperti jargon kosong yang membuat film ini cenderung layaknya film superhero kebanyakan. Generik.
Film Venom: The Last Dance menjadi sangat berbeda dengan edisi Let There Be Carnage di 2021 yang berusaha menyelesaikan kekacauan dari film Venom edisi pertama. Walaupun, perbincangan dan perdebatan konyol Hardy dan Venom menjadi pembeda yang khas dan sangat tidak terlupakan masih terus dibawa.
Baca juga: Review Film Canary Black, antara Negara dan Orang Tercinta
Sayangnya, peran Juno dan Chiwetel tidak terlalu signifikan perannya. Chiwetel tentu saja tampil baik dengan sikap angkuhnya, namun perannya hanya sekadar pemanis. Apalagi Juno yang sekadar terkungkung dari masa lalunya, yang tak jelas relasinya dengan plot ceritanya. Belum lagi pimpinan Chiwetel yang perannya seperti sebuah acar di nasi goreng. Tidak ada pun sebenarnya tidak apa-apa.
Pertarungan yang kurang optimal
Tentu saja kamu mengharapkan pertarungan yang luar biasa bukan, karena ini adalah seri penutup dari trilogi antisuperhero yang paling terkenal dan ditunggu-tunggu. Sayangnya, kamu harus melupakan itu.
Walaupun pertarungannya sangat menarik, hanya saja durasinya tidak panjang. Cenderung terputus-putus. Kamu juga gak akan menemukan sisi mewah dari film ini.
Venom mendapatkan lawan yang cukup kuat, memang benar adanya. Namun, sepanjang film, kamu hanya akan menemukan pertarungan simbiot dengan “serangga” alien kiriman Knull. Bahkan setengah film bisa dikatakan hanya satu lawan simbiot itu, sebelum akhirnya sepasukan datang. Tapi, jangan membayangkan pasukan itu seperti film kolosal ya, tidak sebanyak itu.
CGI para monster ini sudah cukup baik walaupun sebenarnya bisa dibuat lebih mewah. Andai saja pertarungan dibuat lebih kolosal dengan bertempat di lokasi yang lebih padat dan penuh rintangan, Venom: The Last Dance akan menjadi penutup yang mengesankan. Paling tidak secara aksi.
Penutup yang humanis
Trilogi Venom ini ternyata tidak ingin ditutup dengan aksi yang memukau. Hardy dan Marcell seperti ini memberikan penutup yang lebih “humanis” dari sisi seorang alien pemakan otak. Venom seakan diberikan sebuah sisi manusiawi dari berbagai sisi.
Dimulai dari sisi khas Venom yang menyukai cokelat, dansa, hingga minum-minuman keras. Di edisi terakhir film ini, Venom ditambahkan lagi dengan percakapan tidak mau berpisah dengan Eddie Brock, lalu wejangan layaknya seorang ayah saat menumpang di mobil keluarga Hippies penggila alien. Dan yang terakhir adalah pengorbanan salah satunya untuk menghancurkan kodeks dan menyelamatkan alam semesta dari amarah Knull. Venom justru menjadi superhero.
Baca juga: Review Film Furiosa, Jelajahi Masa Lalu Imperator Furiosa yang Penuh Aksi dan Ketegangan
Marcel dan Hardy justru menguatkan sisi duo manusia-alien ini, baik dari sisi ego maupun identitas mereka. Walaupun Venom tidak terlalu “inspiratif” seperti film sebelumnya, namun makhluk ini tetap lucu dengan segala keberingasannya.
Satu hal yang menarik adalah momen di mana Venom merasuki beberapa hewan. Sebuah scene yang jarang ditemui di Venom sebelumnya. Ditambah lagi kemampuan Hardy untuk bermain serius dan bercanda dalam satu waktu.
Kalau bukan karena Hardy, mungkin Venom menjadi film superhero biasa. Hardy mampu menutup Venom dengan penampilan mengesankan dan tidak hanya menyelamatkan alam semesta, tetapi juga franchise film ini.
Kolaborasi Oppo dan Sony Pictures
Rilisnya Venom: The Last Dance sekaligus menjadi momen istimewa bagi Oppo Indonesia. Secara resmi Oppo Indonesia mengumumkan kolaborasi spesial dengan Sony Pictures di Tanah Air. Kerja sama ini hadir dengan menawarkan berbagai eksklusivitas bagi para penggemar film dan teknologi. Penawaran ini akan berlaku mulai awal November 2024.
Bagi para pembeli perangkat Oppo Reno 12 F, baik yang versi 4G maupun 5G, akan mendapatkan sticker pack edisi spesial dari Venom sebagai bagian dari promosi. Selain itu, konsumen juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan merchandise resmi dari Venom: The Last Dance dengan berpartisipasi dalam aktivitas melalui aplikasi My Oppo.
Lebih seru lagi, pengguna Oppo Reno 12 F Series bisa menikmati pengalaman unik dengan fitur AI Studio, yang memungkinkan mereka untuk “Venomize” tampilan diri mereka dalam foto potret. Hanya dengan satu foto, pengguna dapat menunjukkan sisi villainous mereka, menghadirkan sensasi visual khas Venom langsung dari perangkat mereka.
Selain perbedaan pada chipset dan RAM, kedua varian Reno 12 F ini sama-sama dilengkapi dengan baterai berkapasitas 5.000mAh yang mendukung pengisian daya cepat 67W, memastikan pengisian ulang baterai yang efisien.
Pada sisi kamera, Oppo Reno 12 F Series membawa kamera utama 64MP yang dipadukan dengan lensa depth 2MP dan lensa makro 2MP, yang memungkinkan pengguna menghasilkan foto berkualitas tinggi di berbagai situasi.
Sementara untuk kebutuhan swafoto, keduanya dilengkapi dengan kamera depan 32MP yang menggunakan teknologi AI untuk memaksimalkan hasil foto. Dengan kombinasi spesifikasi ini, Oppo Reno 12 F memberikan pengalaman pengguna yang optimal, baik dalam performa maupun kualitas visual.
Review overview
Summary
6,5Akhir dari trilogi Venom dan Eddie Brock (Tom Hardy) yang cenderung lebih drama. Seri terakhir ini justru memperlihatkan sisi manusiawi dari seorang alien dan bagaimana duo ini menutup dari sebuah pelarian.