Allaahu akbar…Allaahu akbar…Allaahu akbar…
Laa illaa haillallahuwaallahuakbar…
Allaahu akbar walillaahil hamd…
Suara takbir bergema di sepanjang penjuru Pulau Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (25/6). Bedanya, bila di daerah lain suara tersebut berasal dari masjid, di pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut berasal dari Lapangan Indra Sakti, sebuah lapangan terbuka yang luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola.
Sebelum fajar menyingsing, ribuan warga Belakangpadang memadati lapangan yang terletak persis di pintu masuk pulau yang sempat menjadi induk Kota Batam tersebut. Secara tertib, mereka mencari tempat ternyaman untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Ada yang memilih di tengah lapangan yang beralaskan rumput, ada juga yang lebih nyaman shalat di samping lapangan yang sudah diberi paving block.
Hanya perlu waktu sekitar 30 menit hingga lapangan tersebut penuh terisi oleh jemaah yang ingin melaksanakan shalat Idul Fitri. Maklum, hampir seluruh warga Belakangpadang tumpah ruah di lapangan tersebut. Hal itu dikarenakan Lapangan Indra Sakti merupakan satu-satunya tempat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri di Belakangpadang.
Bila cuaca saat hari raya cerah, warga pulau tersebut memang lebih memilih menjalankan shalat Idul Fitri maupun Idul Adha di Lapangan Indra Sakti. Masjid-masjid yang ada hampir di setiap titik pemukiman “diistirahatkan” terlebih dahulu. Bukan, bukan karena tidak menghormati masjid sebagai tempat ibadah umat muslim, namun lebih kepada kebersamaan. Apalagi masjid di Belakangpadang umumnya tidak terlalu besar dan hanya cukup menampung beberapa puluh orang.
Maklum Belakangpadang merupakan pulau kecil yang habis terkelilingi oleh sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar 15–30 menit. Bila memaksakan shalat Idul Fitri di masjid, dikhawatirkan ada banyak warga yang tidak kebagian tempat, apalagi saat hari raya banyak warga yang merantau pulang kampung.
Kerlap-kerlip ala Geylang, Singapura
Suasana Idul Fitri di Belakangpadang selalu terasa berbeda. Beberapa hari menjelang hari raya, pulau tersebut selalu terlihat lebih menarik. Ada lampu kerlap-kerlip yang dipasang warga secara swadaya di sepanjang jalan, lengkap dengan gapura khas Idul Fitri, selintas terasa seperti di Geylang, Singapura.
Tahun lalu malah ada beberapa warga yang menghias gapura dengan aneka peralatan khas nelayan, mulai dari sampan hingga replika ikan. Seperti daerah pesisir lain, mata pencaharian utama warga Belakangpadang memang nelayan dan penarik motor sangkut (boat) untuk menyebrangkan penduduk dari satu pulau ke pulau lain di Kota Batam. Namun, berdasarkan obrolan dengan salah satu warga, Jumiati (52), tahun ini warga lebih memilih menghias gapura dengan lampu karena terlihat lebih cantik di waktu malam.
Meski berlokasi di perbatasan, geliat ekonomi warga Belakangpadang terbilang tinggi. Setiap pagi dan malam, kedai-kedai di pulau tersebut ramai dikunjungi masyarakat. Mereka biasanya duduk-duduk “cari angin” sambil menyesap teh tarik/teh o/kopi o dan menikmati jajanan seafood yang selalu disajikan dengan segar.
Saat hari raya, pusat kuliner terlihat lebih ramai, terutama pada malam hari. Pengunjung bahkan harus rela antre untuk mendapatkan makanan dan minuman yang dipesan. Maklum, meski lebih dekat ke Singapura, budaya Melayu di Pulau Belakangpadang tetap kental. Masyarakat pulau tersebut tetap suka ngopi-ngopi sambil mengobrol banyak hal.
Dapat angpau dollar Singapura
Dulu, saat belum ada peraturan untuk menggunakan Rupiah di wilayah Indonesia, tidak sedikit warga Belakangpadang yang suka memberikan angpau hari raya kepada anak-anak yang berkunjung saat open house berupa dollar Singapura. Biasanya uang kertas pecahan satu atau dua dollar Singapura.
Selain rupiah, warga Belakangpadang biasanya memang menyimpan uang dollar Singapura. Hal tersebut dikarenakan, pada waktu-waktu tertentu mereka suka berkunjung ke Negeri Singa –selain untuk berjalan-jalan, juga untuk mengunjungi kerabat yang menetap di sana.
Tak sedikit warga Belakangpadang yang memiliki keluarga di Singapura. Beberapa dari mereka dulu bahkan sempat memiliki KTP Singapura, sebelum akhirnya lebih memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Berdasarkan cerita dari salah satu sesepuh di Belakangpadang, dulu sebelum Batam berkembang seperti saat ini, warga Belakangpadang membeli bahan pokok untuk keperluan sehari-hari dari Singapura. Terkadang mereka pergi langsung, terkadang menitip ke kapal yang lewat. Uniknya, dulu mereka bisa pergi ke Singapura tanpa menggunakan paspor.
Kini, sudah jarang warga lokal Belakangpadang yang memberikan uang angpau berupa dollar Singapura. Lebaran tahun ini anak saya sempat mendapat angpau 2 dollar Singapura dari salah satu kerabat, itu pun setelah ia memberikan uang rupiah. Katanya, dollar Singapura hanya sebagai souvenir, kebetulan beberapa hari sebelumnya ia baru mendapat kunjungan dari salah satu kerabat yang tinggal di Singapura. [Cucum Suminar]