Deras yang baru saja berlalu masih menyisakan gerimis. Namun, keriaan anak-anak di Sekolah Hikari tidak surut. Masing-masing beraktivitas dengan gembira. Bermain di lapangan yang basah, berkejaran di lorong, membaca buku di aula bambu, atau mengepel lantai kelas.
Sekolah Hikari terletak di Kampung Koceak, Tangerang Selatan. Lokasinya berjarak sekitar delapan kilometer dari Bumi Serpong Damai.
Bangunan sekolah yang berdiri pada 2010 ini dirancang sendiri oleh Fadilah dengan mempertimbangkan konsep kelestarian lingkungan. Selain tidak banyak membuat perkerasan tanah, kontur tanah sedapat mungkin tidak diratakan. Ini justru dimanfaatkan untuk perkembangan motorik anak-anak ketika mereka harus mendaki atau berjalan menurun. “Bonus”-nya, anak-anak juga merasa lingkungan sekolah menjadi lebih seru.
Sekolah Hikari percaya, pendidikan harus menyenangkan. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dari jenjang TK sampai SD ini menggunakan kurikulum yang diterapkan Kemendikbud, yaitu Kurikulum 13 (kurikulum tematik). Metode belajar di sekolah ini kerap dilakukan dengan bermain dan cara belajar ala Jepang. Setiap siswa diajak untuk lebih menghargai proses ketimbang hasil. Pemahaman tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) juga membuat sistem penilaian hasil belajar tidak diperingkat.
“Kami dibantu dua orang profesor, ahli filosofi pendidikan dari Toyama University Jepang dan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pendidikan kami mempunyai motto kemandirian dan kerja sama. Anak-anak harus mandiri dulu, jangan sampai jadi beban orang lain. Visi kami, menjadikan anak-anak di sini insan-insan yang punya karakter, selain punya ilmu,” jelas Fadilah.
Pada jenjang kelas 1–3, pendidikan karakter diutamakan, diramu dalam beberapa pelajaran. Mulai kelas 4, pendidikan literasi ditekankan. Sebagai bekal pembentukan karakter, setiap anak diajarkan tiga prinsip menjadi pribadi yang baik. Pertama, mau meminta maaf dan memaafkan. Kedua, bersedia berbagi. Ketiga, selalu ingat untuk berterima kasih atau bersyukur.
“Kami juga memperkaya pendidikan kami dengan pendidikan lingkungan karena selama ini pendidikan lingkungan hanya berupa imbauan atau ekstrakurikuler. Kami memasukkannya ke intrakurikuler sebagai muatan lokal,” tutur Fadilah.
Doktor di bidang energi dari Universitas Toyama Jepang ini bahkan menjadi salah satu dari tim yang menggagas muatan lokal pendidikan lingkungan diterapkan di Kabupaten Tangerang Selatan sejak 2016. Anak-anak diajarkan untuk peduli terhadap lingkungan sejak dini.
Di Hikari, mata pelajaran lingkungan diadakan sekali seminggu. Lima nilai yang menjadi sasaran yaitu kesadaran, sikap, partisipasi, pengetahuan, dan keterampilan. Nilai-nilai tersebut sesuai dengan Deklarasi Tbilisi, hasil konferensi UNESCO pada 1977, tentang pendidikan lingkungan. Materi pendidikan lingkungan di Hikari terdiri atas beberapa bagian, yaitu sampah, sumber daya udara, sumber daya air, sumber daya tanah, sumber daya energi, dan biodiversitas.
Ada banyak bentuk konkret penerapan pendidikan lingkungan itu. Para siswa misalnya dikenalkan dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) atau diminta melakukan pemilahan sampah di sekolah. Hikari juga memiliki Gerakan Jumat Bersih, aksi membersihkan halaman sekolah, toilet, atau jalan di sekitar sekolah setelah berolah raga pagi bersama. Ada pula Kemah Hijau, acara tahunan bertema lingkungan yang melibatkan anak-anak SD perwakilan dari beberapa kecamatan.
Berprinsip ekologi
Wawasan lingkungan tidak hanya diajarkan, tetapi juga terejawantah dalam arsitektur Hikari. Sirkulasi udara menggunakan prinsip konveksi natural. Fadilah menjelaskan, selain jendela-jendela, ada ventilasi di bagian bawah dinding di dekat lantai dan di bawah langit-langit. Udara panas akan mengalir dari ventilasi atas, sementara udara sejuk dari pepohonan sekitar gedung akan masuk lewat ventilasi bawah.
Dinding-dinding bangunan, terutama pada bangunan TK, dilengkapi juga dengan kaca dengan berbagai bentuk dan filosofinya. “Bentuk lingkaran melambangkan kemauan, kotak kemampuan, dan segitiga kreativitas. Di sini bentuk kotak dan segitiga lebih banyak dibandingkan lingkaran. Diharapkan anak-anak lebih banyak kemampuan dan kreativitasnya daripada kemauannya,” jelas Fadilah.
Sejumlah gedung di Hikari juga dibangun menggunakan bata ekologi. Ini adalah bata buatan Fadilah dan timnya yang berbahan dasar tanah 90 persen dan semen 10 persen. Bentuk bata ini unik dan fungsional. Ada dua lubang berjajar pada satu bata yang bisa dikaitkan dengan bata yang lain seperti bongkar pasang. Bata pun dapat saling mengikat dengan lebih kuat.
“Bata ini disebut bata ekologi karena tidak dibakar. Hanya dipres dengan tekanan enam megapascal, lalu dibiarkan merekat atau curing selama 28 hari. Bangunan dengan bata ekologi ini juga bisa memanfaatkan struktur terdistribusi. Tidak perlu pakai bekisting, ada lubang-lubang di bata ekologi sehingga beton bisa dicor ke dalamnya,” tutur Fadilah.
Dengan sistem pembelajaran dan lingkungan yang mendukung, siswa-siswa Hikari diharapkan kelak menjadi individu yang tidak hanya intelek, tetapi juga peduli, bertanggung jawab, dan bermanfaat bagi sekitar. Seperti arti kata hikari itu sendiri dalam bahasa Jepang, cahaya. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
Artikel ini terbit pada harian kompas edisi 07 Mei 2018.