Museum Affandi menyimpan begitu banyak cerita. Lukisan, barang-barang peninggalan, hingga arsitektur bangunannya punya “narasi” tentang sosok pelukis yang pernah meminta untuk dimakamkan di antara lukisan-lukisannya. Permintaan yang kemudian terlaksana.

Kompleks Museum Affandi yang seluas 3.500 meter persegi berada di tepi Sungai Gajahwong, atau persisnya terletak di Jalan Laksda Adisucipto 167, Yogyakarta. Rancangan bangunannya dibuat sendiri oleh seniman kelahiran Cirebon tahun 1907 ini dengan mengusung konsep daun pisang.

Konsep tersebut ia pakai dengan alasan yang tak lepas dari pengalaman masa kecilnya, saat ia dan saudara kandungnya terkena penyakit cacar. Saat itu, pengobatan masih sederhana, mereka tidur menggunakan alas dan berselimut daun pisang supaya tidak dirubungi lalat.

Affandi selamat dari penyakit tersebut, tetapi tidak dengan saudaranya. Oleh karena itu, bagi pelukis yang mengagumi tokoh wayang Sukrosono—raksasa buruk rupa yang baik hati, daun pisang tidak hanya menjadi pelindung dari panas dan hujan, tetapi juga sebagai penyelamat kehidupan. Mengutip harian ini edisi 21 Mei 2014, pada tahun 1981, Affandi menolak penghargaan arsitektur Aga Khan Award karena baginya karya besar ini bukan sebuah karya arsitektur.

Kompleks museum

Pada tahun 1940-an, Affandi membeli tanah yang kini menjadi Museum Affandi. Bangunan awal yang didirikan di kompleks bangunan tersebut adalah rumah panggung, yang fungsinya sebagai hunian.

Sekarang, lantai satu rumah panggung tersebut digunakan untuk Kafe Loteng yang menjajakan bermacam makanan, minuman, dan suvenir. Sementara itu, lantai kedua memajang kamar tidur Affandi, lengkap dengan koleksi buku serta cenderamata yang ia bawa dari lawatannya ke luar negeri.

Bangunan berikutnya adalah Galeri Pertama seluas 314,6 meter persegi yang dibangun pada 1962 dan diresmikan pada 1974 oleh Ida Bagus Mantra yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan. Di bangunan inilah pengunjung bisa melihat karya-karya awal Affandi yang bergaya realis, salah satu yang menarik perhatian adalah lukisan berjudul Self Portrait.

Foto-foto : Iklan Kompas/Antonius SP.

Salah satu yang membuat karya tersebut menarik adalah bayang wajah orang tua pada bagian latar belakang. Affandi membayangkan itulah wajah ayahnya. Pelukis yang sering dianggap empu ini tidak mengenal ayahnya karena telah wafat ketika Affandi masih kanak-kanak. Disebutkan bahwa melukis potret diri adalah bagian dari obyek pembelajaran sejak awal kariernya sebagai pelukis.

Di galeri yang sama ditampilkan pula tiga patung: Affandi dan Kartika (1943), Potret Diri I (1954), dan Potret Diri II (1954). Bahkan, pipa cangklong, sepeda, dan mobil kesayangan sang maestro, Mitsubishi Gallant 1976, ikut menghiasi Galeri Pertama.

Sekadar catatan, bentuk mobil tersebut dimodifikasi oleh Affandi menyerupai bentuk ikan karena ia suka akan keindahan dan kelincahan binatang tersebut.

Keluar dari Galeri Pertama menuju ke Galeri Kedua seluas 315,5 meter persegi, mata akan tertawan pada makam Affandi yang wafat 23 Mei 1990—bersebelahan dengan makam Maryati, istrinya yang wafat persis setahun kemudian pada bulan yang sama.

Dibangun pada 1987 atas bantuan Presiden Soeharto dan dibuka resmi pada 1988 oleh Fuad Hassan yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Kedua memajang lukisan Affandi yang khusus diperjualbelikan. Ini juga jadi tempat yang memajang karya awal Affandi, yang masih menggunakan media pastel di atas kertas dan cat air di atas kertas. Sketsa yang dibuat pada tahun 1946 hingga 1959 juga dipamerkan di galeri ini, misalnya yang berjudul Old Man (1946).

Galeri Ketiga, selesai dibangun pada 1999 atas dana Yayasan Affandi dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono X pada 2000. Di sini karya keluarga Affandi dipamerkan, termasuk lukisan sulam wol karya Maryati, yang semakin mengentalkan semangat Affandi dalam dunia seni. [ASP]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 13 Januari 2018