Bersama dengan seorang pendamping, sekelompok pelajar tingkat sekolah dasar berjajar dengan rapi di sepanjang jalan menuju National Folk Museum of Korea. Kaki-kaki mereka yang kecil melangkah riang. Namun, ternyata mereka bukan satu-satunya kelompok pelajar. Ada beberapa rombongan pelajar lain yang mengunjungi museum itu untuk lebih memahami sejarah mereka sendiri. Tampaknya sekolah-sekolah di Korea Selatan cukup sepakat, ruang belajar jauh lebih luas daripada kelas.
Bentuk fisik National Folk Museum of Korea yang menunjukkan ciri bangunan Korea terutama ditegaskan lewat cheoma, atap yang bagian pinggirnya seolah mengambang dengan lekuk-lekuk tertentu. Atap ini menghidupkan kembali bahasa tradisional arsitektur Korea yang juga digabungkan dengan konteks modern, merepresentasikan isi museum itu sendiri, perjalanan sejarah bangsa Korea dari kehidupan tradisional ke yang lebih modern.
Museum yang berada satu kompleks dengan Gyeongbokgung Palace ini memainkan peran penting dalam membantu warga maupun wisatawan memahami kehidupan dan kebudayaan penduduk Korea. Dengan lebih dari 98 ribu artefak di dalamnya, museum ini mengklasifikasikan koleksinya ke dalam tiga aula ekshibisi: History of Korean People (dari zaman prasejarah sampai akhir Dinasti Joseon pada 1910), Korean Way of Life (penduduk Korea di masa lalu), dan Life Cycle of the Koreans (ajaran Konfusianisme dalam kebudayaan Korea).
Di bagian depan History of Korean People, ada catatan tonggak sejarah bangsa Korea yang terpampang memanjang di dinding. Beragam replika tokoh atau diorama yang menunjukkan kejadian penting turut membantu kita membayangkan situasi yang terjadi pada masa lampau.
Salah satu bagian paling impresif di National Folk Museum of Korea adalah diagram astronomi kuno dan modern. Bagi orang Korea, pemahaman tentang astronomi terkait erat dengan relasi mereka dengan semesta, yang juga termasuk dalam ideologi konfusianisme. Upaya mewujudkan dunia yang ideal di masyarakat riil terefleksi dalam karya ilmiah dan astronomi.
Warga Korea percaya, raja diberi mandat oleh surga untuk memerintah negara seturut kehendak langit. Pembuatan peta astronomi berarti menghubungkan yang di bumi dengan yang di langit. Penemuan-penemuan yang berkaitan dengan astronomi pun bermunculan.
Manifestasi ajaran konfusianisme misalnya tampak pada gyeongjikdo yang bertujuan memberi pemahaman pada kaum elite tentang rumitnya sistem agrikultur. Penggunaan pluviometer yang disebut cheukugi dan sistem irigasi yang dirancang dengan matang juga menunjukkan pentingnya agrikultur.
Memori tentang Joseon
Berjalan kaki sekitar 300 meter dari National Folk Museum of Korea, kita akan sampai di Gyeongbokgung, istana terbesar di Korea Selatan. Istana yang pertama kali dibangun pada 1395 oleh Dinasti Joseon ini hancur terbakar pada masa Perang Imjinwaeran dengan Jepang (1592–1598). Istana yang kita lihat sekarang adalah hasil restorasi yang dilakukan sejak 1989.
Di kompleks besar ini, ada sejumlah bangunan penting, antara lain tempat raja bertahta (Geunjeongjeong), tempat tinggal putra mahkota (Donggung), tempat tinggal ratu (Jagyeongjeon), dan tempat peristirahatan serupa kuil yang dikelilingi kolam (Hyangwonjeong). Semua bangunan ini mengagumkan. Setiap detailnya dibuat dengan seksama dan dengan maksud tertentu.
“Lihat itu, di ujung atap yang melengkung ada deretan patung binatang seperti kera, naga, atau singa. Itu simbol penjagaan terhadap istana ini,†tutur Paul, pemandu wisata yang fasih berbahasa Indonesia.
Paul juga menunjukkan jam matahari yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Sejong. Dalam bahasa Korea, jam ini disebut angbu ilgu, artinya jam matahari berbentuk mangkuk yang menghadap ke langit. Tidak hanya memberi petunjuk tentang perputaran waktu dalam sehari, jam ini juga menunjukkan musim dan shio.
Berjalan-jalan di sekitar Gyeongbokgung sangat menyenangkan. Kita akan sangat menikmati arsitektur istana yang estetis dan dibuat penuh pertimbangan. Taman di sekitarnya menjadikan tempat ini sejuk. Pada awal musim gugur seperti Oktober lalu, ujung-ujung daun yang mulai oranye menciptakan suasana yang berbeda bagi kita yang tinggal Indonesia dengan dua musim, apalagi sesekali remaja-remaja dengan hanbok, pakaian tradisional Korea, melintas di taman.
“Yang paling menarik dari Gyeongbokgung adalah desain bangunannya yang megah dan atmosfer yang membuat kita merasa seperti berada di masa lalu,†ujar Debyanca, seorang pengunjung dari Tanah Air.
Di National Folk Museum of Korea dan Gyeongbokgung, kita bisa menelusuri sejarah dengan cara yang bukan hanya menarik, tetapi juga indah. Kisah itu tak sekadar dituturkan dengan kering, melainkan menjadi seolah hidup. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
noted:Â Sejarah yang Hidup di Gyeongbokgung