Itu Mei 1896. Soewardi Suryaningrat, putra bangsawan Kanjeng Pangeran Harjo Suryaningrat di Yogyakarta, genap tujuh tahun sudah. Anak itu telah pandai mengaji, membaca, juga melantunkan tembang dan puisi Jawa.
Tiba jugalah waktu bagi Soewardi untuk duduk di bangku sekolah. Ayahnya telah mendaftarkannya di Europeesche Lagere School (ELS) dan sangat bersemangat lantaran putra cerdasnya itu akan segera bersekolah.
Soewardi tak kalah gembiranya. Ia berlari ke kampung dan menyebarkan berita kepada kawan-kawannya bahwa esok ia akan sekolah. Namun, pada hari yang sama, ia tahu, teman-temannya di kampung itu tak bisa sekolah. Kepada ayahnya ia minta agar teman-temannya juga didaftarkan ke sekolah. Permintaan itu, seperti dikatakan ayahnya, tak bisa dipenuhi. Aturan bagi pribumi, hanya mereka yang ningrat bisa bersekolah.
“Mengapa pemerintah penjajah membeda-bedakan golongan Belanda, Eropa, pribumi bangsawan, dan pribumi bukan bangsawan?” Soewardi memprotes.
Pada usia semuda itu, naluri kemanusiaannya telah tercederai. Sempat terpikir olehnya, lebih baik ia pun tidak bersekolah agar bisa senasib dengan teman-temannya. Namun, ayahnya memberinya pandangan, untuk bisa membagikan kepandaiannya, tentulah Soewardi harus lebih dulu memiliki ilmu.
“Dirikanlah sekolah modern yang berkualitas dan kelak berguna bagi kepentingan bangsamu. Sekolah yang engkau dirikan tentu bisa menolong rakyat yang sangat memerlukan pendidikan,” begitu Pangeran Suryaningrat berkata.
Di sekolah, Soewardi menjadi siswa yang cemerlang. Setelah lulus dari ELS pada 1904, ia melanjutkan pendidikan di Kweekschool, sekolah pendidikan guru di Yogyakarta.
Berselang setahun, ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Sekolah Dokter Hindia Belanda atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia. Dalam masa pendidikannya di STOVIA, Soewardi dinikahkan dengan Raden Ajeng Sutartinah atas keputusan keluarga.
Pada periode sekolahnya di STOVIA itu, dunia sedang bergolak, yang membuat semangat kebangkitan nasional para pemuda menggebu-gebu. Peristiwa penting terjadi di Asia. Pertama, Jepang mengalahkan Rusia, negara besar di Eropa. Kedua, di Turki muncul gerakan Turki Muda, yang menghendaki pembaruan dalam politik.
Para kaum terpelajar itu pun terpecut dan menginginkan kemerdekaan. Pada 20 Mei 1908, sejumlah mahasiswa berkumpul dan berdiskusi. Dari sana lahir inisiatif untuk membentuk Organisasi Budi Utomo.
Sutomo dipercaya menjadi ketuanya. Soewardi, yang kebetulan tidak bisa hadir, ditempatkan di seksi propaganda. Untuk kepentingan tugasnya itu, Soewardi lalu menghubungi Douwes Dekker, salah seorang sahabatnya yang mendukung perjuangan mahasiswa STOVIA.
Soewardi kian aktif dalam pergerakan. Namun, karena padatnya kegiatannya itu, hasil studinya pun terpengaruh. Beasiswa yang didapatkannya untuk bersekolah pun dicabut dan pada 1910 ia terpaksa meninggalkan STOVIA.
Tiga Serangkai
Sempat bekerja di pabrik gula dan apoteker, Soewardi mendapati bahwa jiwanya selalu terpanggil dalam urusan tulis-menulis. Ia rajin menuliskan gagasan-gagasannya dan mengirimkannya ke Midden Java maupun De Express, surat kabar pimpinan Douwes Dekker. Douwes Dekker (Dr Danudirja Setiabudi) adalah Indo berdarah Belanda-Perancis-Jerman-Jawa yang pertama kali mencetuskan nasionalisme Indie (sebutan untuk Indonesia kala itu).
Pada 1912, Soewardi pun bekerja sebagai jurnalis di De Express, yang berbasis di Bandung. Di kota itu, ia juga bergabung dengan gerakan Sarekat Islam (SI), kemudian ditunjuk menjadi ketuanya.
Lewat pergaulannya dengan beberapa orang di Bandung, Soewardi menemukan kesamaan visi dengan Douwes Dekker dan dr Cipto Mangunkusumo. Mereka, yang kelak dikenal dengan Tiga Serangkai, lalu mendirikan Indische Partij, partai politik pertama yang mengusung nasionalisme Indonesia.
Sayang, permohonan izin untuk membuat partai ini berbadan hukum ditolak pemerintah. Partai ini pun bubar. Oleh Douwes Dekker, para anggotanya dialihkan menjadi anggota Insulinde, perhimpunan orang-orang Indonesia di Belanda.
Perjuangan Tiga Serangkai tak surut. Mereka giat menulis dan menyuarakan kritik terhadap pemerintah kolonial. Salah satu tulisan yang membuat pemerintah Hindia Belanda berang adalah artikel Soewardi yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang terbit di De Express pada 13 Juli 1913. Artikel ini menyindir pemerintah Belanda yang mengadakan pesta kemerdekaan negerinya di tanah jajahan, Hindia Belanda.
“… Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu di sini, dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.”
Karena perlawanan-perlawanan tersebut, pada 1913 itu Tiga Serangkai ditangkap dan diasingkan. Mula-mula, pemerintah memutuskan untuk mengasingkan mereka ke beberapa tempat terpisah di dalam negeri (internering). Namun, mereka menolak diasingkan di dalam negeri dan memilih dibuang ke Belanda (externering). Pada 6 September 1913, Tiga Serangkai bersama dengan istri Soewardi, Sutartinah, berangkat ke Belanda.
Di Negeri Kincir Angin, perjuangan mereka juga tak melempem. Mereka bergabung di De Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia, yang sempat diketuai Bung Hatta. Soewardi juga menamatkan pendidikan uru dan mendapat akta guru Eropa.
Pendirian Taman Siswa
Sekembalinya ke Indonesia pada 1919, Soewardi telah lebih matang. Ia sempat memimpin National Indische Partij (NIP) dan beberapa terbitan majalah. Pada 1921, ia juga mengajar selama satu tahun di sekolah Adhidaharma yang dipimpin kakaknya, Suryopranoto.
Soewardi juga bergabung di Paguyuban Selasa Kliwon, yang mempunyai cita-cita utama mengayu-ayu saliran, mengayu-ayu bangsa, lan mengayu-ayu manungsa (membahagiakan diri sendiri, bangsa, dan umat manusia). Kelompok ini berpandangan, kemerdekaan mesti didasari dengan penanaman benih kebangsaan sejak kanak-kanak. Karena kesadaran akan pendidikan ini, mereka punya visi untuk mendirikan sekolah.
Soewardi pun ditugasi untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak. Ia kian mendapat dorongan untuk mengupayakan pendidikan. Bagi Soewardi, pendidikan adalah strategi barunya dalam perjuangan. Para sahabat Soewardi juga mendukungnya.
“Kita sudah cukup lama menggempur benteng musuh, kini sudah waktunya kita membangun benteng kita sendiri,” kata Douwes Dekker.
Soewardi lantas mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Dimulai dari Yogyakarta, perguruan ini lantas meluas ke seluruh Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon.
Saat itu, wawasan Soewardi tentang pendidikan telah kian luas. Ia mempelajari banyak konsep pendidikan, terutama dari tokoh-tokoh seperti Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India. Kedua pemikiran tokoh tersebut ia kagumi, tetapi Soewardi pun punya kritiknya sendiri.
Montessori bertujuan mengoptimalkan perkembangan kognitif dan panca indera anak. Namun, menurut Soewardi, metodenya kurang menyentuh perkembangan batin anak-anak. Sementara itu, Tagore menggunakan pendidikan untuk memperkokoh batin dan religiusitas manusia, tetapi kurang memberi perhatian pada masalah kognitif dan psikologis.
Lewat Perguruan Taman Siswa, Soewardi mengedepankan pendidikan kognitif sekaligus budi pekerti. Ia juga menggagas metode among, yaitu pendampingan oleh guru agar anak didik tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan sendiri.
Semboyan pendidikannya yang terkenal: ing ngasro sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, guru seyogianya menjadi teladan di depan, memberi dukungan untuk siswa, serta mendorong para siswa untuk mencari pengetahuan dan belajar mandiri.
Pada 3 Januari 1928, Soewardi melepas gelar kebangsawanannya dan mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Nama yang kita kenal sampai kini.
Sejak mendirikan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara pun giat memperjuangkan pemerataan pendidikan, dengan segala dinamikanya. Proklamasi kemerdekaan, yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, adalah saat yang begitu membahagiakan bagi Ki Hadjar. Dengan upaya bersama yang dirintis panjang, bangsa Indonesia dapat memerdekakan dirinya. Karena kiprahnya di bidang pendidikan, Ki Hadjar diangkat menjadi Menteri Pendidikan yang pertama.
Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959. Hari lahirnya, yaitu 2 Mei, lalu ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No 316 pada 16 Desember 1959.