Catur, sebuah permainan strategi yang dikenal di seluruh dunia, ternyata menyimpan sejarah panjang yang penuh warna, misteri, dan legenda. Meskipun kita tidak dapat menunjuk satu sosok sebagai “penemu catur”, tapi jejak-jejaknya bisa kita lacak hingga ke tanah eksotis India pada abad ke-6 Masehi. Di sanalah benih dari permainan intelektual ini pertama kali tumbuh, bernama Chaturanga, permainan yang mencerminkan susunan militer India kuno.

Chaturanga: Strategi Empat Kekuatan

Bayangkan medan perang kuno, infanteri yang teguh, kavaleri yang gesit, gajah perang yang gagah, dan kereta tempur yang menggelegar. Itulah empat kekuatan utama yang menjadi inspirasi nama Chaturanga, yang berarti “empat divisi militer.” Permainan ini dimainkan di atas papan 8×8, cikal bakal dari papan catur modern yang kita kenal sekarang. Namun lebih dari sekadar permainan, Chaturanga adalah gambaran strategi perang yang membutuhkan kecerdikan, kesabaran, dan seni membaca lawan.

Sissa Bin Dahir: Sang Jenius Legenda

Dalam sebuah kisah legenda yang memikat, diceritakan seorang tokoh bernama Sissa Bin Dahir, sang jenius dari India, mempersembahkan permainan Chaturanga kepada Raja Shirham. Sang Raja yang terpukau dengan kejeniusan permainan ini menawarkan hadiah apapun yang diinginkan Sissa.

Namun Sissa justru meminta sesuatu yang sederhana, atau tampak sederhana: sebutir gandum pada kotak pertama papan catur, lalu digandakan pada kotak berikutnya, dan begitu seterusnya hingga 64 kotak. Permintaan ini ternyata menghitung jumlah yang luar biasa besar, membuat kerajaan kekurangan gandum!

Kisah ini tak hanya menyoroti permainan catur, tapi juga kekuatan matematika dan strategi yang terkandung di dalamnya.

Shatranj dan Perjalanan ke Persia

Seiring waktu, Chaturanga bertransformasi. Sejarawan menyebut bahwa permainan ini mungkin awalnya melibatkan dadu, sebelum berubah menjadi versi yang lebih serius bernama Shatranj di Persia. Para pedagang Muslim membawa permainan ini dari India ke negeri para penyair dan raja-raja besar. Di sana, catur berkembang bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai simbol intelektual dan kemewahan bangsawan.

Di Persia, Shatranj disambut dengan antusiasme tinggi. Permainannya semakin disempurnakan, dan di sinilah kita mulai melihat bentuk awal dari catur modern. Dari Persia, permainan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam, menjadi bagian penting dari budaya Arab yang gemar akan puisi, ilmu pengetahuan, dan tentu saja, strategi.

Catur Menjelajah Dunia

Catur bukan hanya menyebar ke barat, tetapi juga ke timur. Dibawa oleh para peziarah Buddha, pedagang di Jalur Sutra, dan pelancong spiritual, permainan ini menjelajah dari Asia Selatan menuju Tiongkok. Di sana, ia berubah bentuk, pion menjadi cakram, dan papan permainannya pun punya karakteristik sendiri. Sekitar tahun 750 Masehi, catur sudah merambah ke Tiongkok, dan pada abad ke-11, telah menyapa negeri sakura Jepang dan semenanjung Korea.

Setiap budaya menyesuaikan permainan ini dengan nilai dan gayanya masing-masing. Di Tiongkok, muncullah Xiangqi, sementara Jepang mengembangkan versi mereka sendiri: Shogi. Catur tak lagi hanya permainan. Ia menjadi representasi budaya, seni berpikir, dan alat diplomasi antarbangsa.

Catur bukan sekadar hobi di waktu senggang. Ia adalah warisan peradaban, simbol kecerdikan manusia, dan medan pertempuran tanpa darah yang menjelajahi zaman. Dari istana raja India hingga ke kedai kopi Eropa, dari gurun pasir Arab hingga kuil-kuil di Asia Timur, catur terus hidup, berkembang, dan memikat pikiran generasi demi generasi.

Siapa sangka, dari papan kecil berukuran 64 kotak, lahirlah kisah besar yang mendunia?

Baca juga: Ide Quality Time Menarik bersama Keluarga di Akhir Pekan