Salah satu tragedi penerbangan yang mengerikan dialami pesawat Boeing B747-100 Pan Am dengan nomor penerbangan 103. Pesawat itu meledak di atas wilayah udara UK dan Irlandia Utara, tepatnya di Desa Lockerbie, pada 21 Desember 1988. Seandainya waktu itu proses screening barang bawaan penumpang dilakukan dengan lebih ketat, mungkin musibah ini bisa dielakkan.

Dalam bencana udara yang mengguncang dunia itu, 271 orang dari 21 negara tewas (189 penumpang adalah warga AS), termasuk 11 orang yang berada di darat. Bencana ini dikenal dengan Musibah Lockerbie. Pesawat milik Pan American World Airways itu terbang dari Bandara Internasional Heathrow, London, menuju Bandara Internasional John F Kennedy, New York.

Pesawat beregistrasi N739PA bernama Clipper Maid of The Seas hancur oleh sebuah bom plastik seberat 450 gram yang meledak di ruang kargo depan. Angin yang berhembus 190 kilometer per jam menyebarkan penumpang dan barang-barang seluas area 130 kilometer persegi.

Peristiwa itu menunjukkan adanya kelonggaran pengamanan area bandara yang mengancam keselamatan penerbangan. Ancaman kerugian itu tidak hanya berasal dari aktivitas terorisme, tetapi juga datang dari aksi penyelundupan obat-obatan terlarang dan senjata api.

Indonesia juga punya contoh ledakan bom di bandara internasional. Pada 27 April 2003, situasi keamanan Terminal 2F Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, dihentak dengan ledakan sebuah bom yang mencederai beberapa orang.

Tak heran bila kemudian seluruh peralatan keamanan yang berfungsi mendeteksi (screening) barang bawaan penumpang dirancang makin canggih. Salah satunya pemeriksaan menggunakan mesin sinar-x (x-ray).

Warna berbeda

Mesin sinar-x memiliki sejumlah sensor untuk memindai semua barang yang masuk. Sensor ini kemudian mengaktifkan sinar-x yang mampu menembus dan mendeteksi setiap benda yang berada di dalam mesin.

Benda-benda dalam koper atau tas penumpang akan menyerap pancaran sinar-x tersebut. Selanjutnya, sinyal-sinyal dan potongan gambar yang ditangkap detektor akan diintegrasikan sehingga membentuk suatu piksel pada monitor petugas pengawas.

Gambar seperti sketsa yang muncul di monitor pengawas memiliki warna yang berbeda. Ini disebabkan benda yang dibawa penumpang terbuat dari bahan yang berbeda pula. Ada yang terbuat dari logam, serta bahan organik dan an-organik.

Petugas pengawas telah dilatih untuk mencurigai benda-benda yang berbahaya atau terlarang. Mereka cukup awas untuk mendeteksi benda-benda yang menampilkan warna yang diduga bisa menjadi senjata tajam, obat-obatan terlarang, bahan kimia berbahaya, hingga peralatan peledak rakitan (improvised explosive device/IED).

Pada kasus-kasus tertentu, petugas harus membuka koper penumpang sebagai bagian proses pemeriksaan. Hal ini dilakukan bila di dalam koper terdeteksi barang yang mencurigakan.

Contohnya, penumpang diminta mengeluarkan laptop, kamera, ponsel, atau benda lain yang dicurigai. Benda-benda elektronik memiliki banyak komponen kecil. Ini ada kalanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut agar dapat dipastikan komponen di dalamnya aman untuk penerbangan.

Ikat pinggang dan jam tangan juga wajib dilepas untuk diperiksa melalui mesin sinar-x. Gesper ikat pinggang misalnya, ada yang desainnya bisa berpotensi menjadi senjata tajam. Bahkan ada kalanya sepatu yang digunakan penumpang akan diminta petugas untuk diperiksa melalui mesin sinar-x.

Selain melalui mesin sinar-x, penumpang akan diperiksa melalui pintu detektor. Pemeriksaan ini kadang kala membuat repot, sebab perhiasan kecil dari metal sudah cukup untuk membuat detektor meraung-raung. Apalagi pemeriksaan biasanya dilakukan 2 kali, saat penumpang masuk ke ruang pelaporan (check-in) dan ruang tunggu. Bahkan pada penerbangan internasional yang memerlukan transit, pemeriksaan bisa 3-4 kali.

Barang-barang yang akan dimasukkan ke bagasi pesawat juga melewati proses pemeriksaan dan biasanya tidak diketahui penumpang. Petugas biasanya membubuhkan tanda “x” dengan kapur bila koper penumpang perlu dibuka. Sesuai prosedur, petugas juga harus meninggalkan pesan dalam koper sebagai pemberitahuan bahwa koper telah dibuka untuk diperiksa.

Untuk itu, bila merasa dirugikan karena terdapat kerusakan atau kehilangan barang di dalam koper, penumpang harus segera melapor. Barang berharga dan beberapa jenis makanan jangan diletakkan dalam koper yang masuk bagasi pesawat. Makanan seperti keju, cokelat, atau selai kacang memiliki kepadatan yang mirip dengan beberapa jenis bahan peledak. Ini akan dicurigai oleh detektor yang membuat koper dibuka petugas.

Payung hukum screening

Di Indonesia, pemeriksaan atau screening terhadap semua barang bawaan penumpang pesawat memiliki payung hukum. Di antaranya, Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/2765/XII/2010 tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personel Pesawat Udara, dan Barang Bawaan yang Diangkut dengan Pesawat Udara dan Orang Perseorangan, serta Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2016 tentang Prosedur Pemeriksaan Bagasi dan Barang Bawaan yang Berupa Perangkat Elektronik yang Diangkut dengan Pesawat Udara.

Salah satu pasal dalam peraturan tersebut mewajibkan beberapa benda harus harus dilepas, dikeluarkan, atau ditunjukkan kepada petugas keamanan bandara, yakni jam tangan, kunci, mantel, jaket, topi, ikat pinggang, ponsel, dan barang-barang yang mengandung unsur logam.

Saat dilakukan screening, penumpang sebenarnya tidak perlu merasa risih bila diminta petugas keamanan bandara untuk menunjukkan barang yang hendak dibawa terbang. Petugas telah dilatih juga untuk memeriksa penumpang tanpa mengganggu kenyamanan.

Petugas juga akan menyarankan solusi atau membantu penumpang jika membawa barang tertentu sebagai bagian peralatan kerja. Contohnya, peralatan pertukangan yang akan diarahkan petugas untuk dimasukkan ke bagasi tercatat pesawat.

Dengan prosedur screening, penerbangan dapat berlangsung dengan aman dan penumpang pun selamat sampai tujuan.