Pagi yang cerah di permukiman pinggiran Sungai Mahakam, Samarinda Seberang, Kalimantan Timur. Urau bersiap hendak bermain di tanah lapang. “Tolong antarkan sarung tenun pesanan Paman Ipul,” kata ibu sambil membereskan gedokan yaitu alat tenun bukan mesin yang digunakan ibu menenun.

“Tapi, teman-teman sudah menunggu, Bu,” Urau mencoba menghindar.

“Setelah mengantar, kau boleh bermain,” jawab ibu.

Urau tak bisa menolak. Ia  melewati tanah lapang menuju rumah paman yang tinggal dua blok dari rumahnya. Dari jauh, terlihat riuh gelak tawa teman-temannya asyik bermain layang-layang.

“Urau, main, yuk!” ajak Apat.

“Tunggu sebentar! Aku harus mengantar pesanan,” jawab Urau.

“Ayo, main sebentar!” bujuk Ijul membuat Urau ragu.

Urau lalu tersenyum melihat Imay melintas dengan sepedanya. Rumah Imay bersebelahan dengan Paman Ipul.

“Kamu mau pulang ya, May? Boleh aku minta tolong!” kata Urau menghentikan Imay.

“Ada apa?” Imay turun dari sepeda.

“Aku titip sarung tenun buatan ibu untuk Paman Ipul, ya,” Urau meletakkan bungkusan dalam keranjang sepeda.

Imay pun mengangguk. Urau lalu menyusul teman-teman di lapangan. Hari semakin terik, anak-anak yang asyik bermain di lapangan mulai kelelahan.

“Kita pulang, yuk!” ajak Apat. Urau dan Ijul mengangguk dan mereka pulang ke rumah masing-masing.

Seampainya di rumah, Urau dikejutkan dengan suara Imay yang memanggil namanya. Kenapa Imay datang ke rumah siang terik begini? Urau penasaran. Terdengar langkah kaki ibu membuka pintu dan mempersilakan Imay masuk.

Aduh! Sarung Paman Ipul, pekik Urau dalam hati. Ia teringat pesanan ibu tadi pagi.

Mendadak Urau menjadi takut ibunya akan kecewa. Urau merasa sudah waktunya ia berkata jujur. Urau memberanikan diri menemui Imay dan ibu yang berada di ruang tamu.

“Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak mengantar sarung ke rumah Paman Ipul,” kata Urau membuat ibu terbelalak kaget.

“Di mana sarung itu?” tanya ibu.

“Saya bertemu Imay di jalan, lalu menitipkan sarung untuk diserahkan kepada paman,” sambung Urau penuh sesal.

“Sarungnya sudah saya sampaikan, Tante. Kebetulan rumah paman bersebelahan dengan rumah saya,” jawab Imay membuat ibu tenang.

“Loh, kamu belum menceritakan yang sebenarnya?” Urau memandang Imay.

Imay menggeleng lalu menjawab, “Saya datang untuk mengantarkan titipan lempok durian dari Paman Ipul sebagai ucapan terima kasih.”

“Terima kasih sudah berkata jujur, Nak. Jangan diulang lagi, ya. Kasihan Imay jadi repot,” kata ibu pada Urau.

Urau merasa iba pada Imay karena harus bolak-balik mengantar titipan. Urau berjanji akan menyelesaikan tugas dengan sebaik mungkin. *

 

logo baru nusantara bertutur

Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Dwi Rahmawati
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita