Membayangkan cara suatu negara melindungi atau menyembunyikan pesan-pesan rahasia tentu terasa rumit. Seperti di film mata-mata atau agen rahasia. Namun, saat mengunjungi Museum Sandi di Yogyakarta, kita akan mendapati penjelasan yang lebih mudah dipahami.

Malahan, untuk memulai mengenal apa itu sandi dan kerumitan-kerumitan yang menyelubunginya, kita akan diajak bermain terlebih dulu. Permainan yang menyenangkan, terlebih bagi anak-anak.

Saat tiba di lobi museum, pengunjung cukup mengisi buku tamu. Selanjutnya, pemandu akan memberikan mainan terbuat dari kertas. Nama mainan ini, Caesar Cipher. Ini contoh persandian dalam rupa sederhana. Cara memainkannya mudah saja. Abjad A-Z akan dienskripsi atau diacak dengan deretan abjad yang akan menjadi kunci sandi (deretan huruf berwarna merah). Kunci sandi ini bisa digeser-geser sesuai kesepakatan antara pengirim dan penerima pesan rahasia.

Permainan Caesar Cipher sebagai souvenir untuk pengunjung museum.

Sebagai contoh, pada foto Caesar Cipher artikel ini, kata KOMPAS akan disamarkan dengan huruf-huruf yang berada tepat di bawah setiap huruf pembentuk kata KOMPAS. Hasilnya menjadi ZDBEPH. Menarik, bukan? Seperti namanya, teknik kriptografi—ilmu menyamarkan pesan agar tidak bisa dibaca pihak ketiga—ini diciptakan oleh Julius Caesar yang pada masanya digunakan sebagai bagian dari taktik militer.

Mainan Caesar Cipher dari Museum Sandi ini boleh dibawa pulang secara cuma-cuma sebagai souvenir. Sebagai bukti bahwa Museum Sandi didirikan untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan, pengunjung tidak dikenakan biaya apapun untuk melihat dan mengamati semua koleksi di dalamnya.

Museum Sandi berada di Jalan Faridan M Noto 21, Kotabaru, Yogyakarta. Dari Jalan Malioboro, museum ini terbilang dekat. Kalau mau mencapainya dengan berjalan kaki, kira-kira butuh waktu sekitar 10-15 menit. Relatif tidak melelahkan.

Fasad Museum Sandi berlanggam indis. Pada 1947, bangunan ini pernah menjadi gedung Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Mengingat pilinan sejarah yang terperam di gedung ini, bangunan museum sekarang ditetapkan sebagai cagar budaya. Menurut beberapa sumber, Museum Sandi menjadi satu-satunya museum persandian di Asia. Sedangkan di dunia, cuma terdapat tiga museum persandian, yakni di Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Gedung Museum Sandi

Pendirian Museum Sandi diawali dari gagasan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X pada sekitar 2004-2005, untuk menyimpan koleksi persandian di Museum Perjuangan Yogyakarta. Ide ini lantas disambut oleh Kepala Lembaga Sandi Negara kala itu, Mayjend TNI Nachrowi Ramli. Pada pertengahan 2005, tim pengisi Museum Sandi sudah memulai pekerjaannya.

Meski pembangunannya terkendala bencana gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 2006,  Museum Sandi akhirnya dapat dibuka untuk umum pada 29 Juli 2008 dengan bertempat di lantai dasar Museum Perjuangan Yogyakarta. Untuk meningkatkan layanannya, pada 2014 Museum Sandi dipindahkan ke lokasi saat ini.

Buku Code C

Memasuki ruang pamer di lantai satu, pengunjung akan berkenalan dengan Bapak Persandian Indonesia, yakni Dokter Roebiono Kertopati. “Ingatlah bahwa kechilafan satu orang sahaja tjukup sudah menyebabkan keruntuhan negara.” Ini menjadi salah satu ucapan terkenal dari Roebiono. Pahatan kalimat tersebut pada sebuah batu menyambut pengunjung untuk mengamati lebih dalam sejarah persandian Indonesia.

Pemandu kemudian akan bercerita tentang masa-masa awal kemerdekaan saat beberapa lembaga di Indonesia masih menggunakan sistem sandi peninggalan Belanda. Kondisi itu membuat pesan-pesan rahasia atau kedinasan Pemerintah Indonesia mudah diretas oleh tentara Belanda.

Beruntung, Roebiono segera menyadari kelemahan itu. Ia pun kemudian mendesain sistem sandi baru yang hanya bisa dipakai oleh instansi atau pihak militer Indonesia. Sandi baru ini ditulis dalam enam buku yang disebut Buku Code C. Setiap buku berisi 10 ribu kata sandi berbahasa Inggris dan Belanda.

Untuk membuktikan bahwa sistem sandi baru ini lebih aman, Roebiono pun membongkar berbagai sandi lama yang masih digunakan lembaga-lembaga negara. Aksi peretasan ini menyadarkan lembaga-lembaga itu betapa lemahnya persandian yang mereka gunakan selama ini. Akhirnya, mereka pun menerima dan menggunakan sistem persandian baru yang dibuat Roebiono.

Saat Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 1948, mereka menawan beberapa pemimpin Republik Indonesia, di antaranya Soekarno dan Muhammad Hatta. Saat itu, Roebiono dan anggotanya yang disebut Code Officer (CDO) memutuskan untuk membakar seluruh dokumen rahasia yang disimpan Dinas Code agar tidak dikuasai Belanda.

Buku Code C

Para anggota Dinas Code itupun lantas berpencar ke berbagai wilayah di Indonesia untuk mengamankan komunikasi antara pemerintahan darurat yang dipimpin Sjarifoeddin Prawiranegara dengan para gerilyawan di Indonesia. Beberapa agen persandian lalu memilih “markas” di Dusun Dukuh, Desa Purwoharjo, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta.

“Rumah yang menjadi ‘markas’ persandian ini milik warga setempat. Bentuknya joglo. Saat itu, petugas sandi bekerja dengan peralatan seadanya. Saat malam hari penerangannya cuma lampu semprong (lampu minyak). Mereka pun membuat sandi hanya menggunakan tulisan tangan,” jelas pemandu, beberapa waktu lalu.

Pesan-pesan penting yang telah disandikan itu kemudian dibawa para kurir untuk disampaikan kepada para pejuang atau para pimpinan Republik. Berbagai teknik tipuan digunakan para kuris untuk berkelit dari pemeriksaan atau patroli tentara Belanda. Contohnya, ada kurir yang memasukkan kertas pesan ke makanan kecil sehingga bisa ditelan saat ada patroli Belanda. Ada juga yang memodifikasi komponen sepeda onthel (kumbang) agar bisa disisipi pesan rahasia.

Tato

Pada ruangan yang lain, pemandu Museum Sandi akan secara gamblang menjelaskan sejarah persandian sejak zaman kuno. Semisal yang paling unik, yakni mengirim pesan rahasia melalui tato. Cara ini diketahui berasal dari tahun 499 sebelum masehi (SM) yang dipakai oleh penguasa Yunani, Histiaeus.

Penyandian pesan dengan menggunakan tato.

Dalam episode “History of Herodotus” disebutkan, Histiaeus memilih seorang budak untuk mengirimkan pesan rahasia kepada menantunya yang bernama Aristagoras dalam peperangan Persia. Setelah itu, rambut sang budak akan dicukur habis. Lalu, pesan rahasia ditatokan pada kulit kepala sang budak. Histiaeus kemudian menunggu hingga rambut budak ini tumbuh lebat lagi. Setelah itu, sang budak pun diperintahkan untuk segera pergi menemui Aristagoras. Sang penerima pesan pun kemudian mencukur kembali rambut budak untuk membaca isi pesannya.

Ada juga contoh persandian yang dinamakan Astragal. Metode ini dikembangkan pada abad ke-4 SM oleh panglima perang Aeradia di Romawi yang bernama Aeneas Tacticus. Ia mengirimkan pesan rahasia menggunakan sebuah piringan yang memiliki lubang-lubang kecil. Masing-masing lubang mewakili suatu huruf.

Penyamaran pesan dilakukan secara lebih rumit, yakni menggunakan seutas tali yang dimasukkan pada lubang-lubang kecil itu, mengikuti urutan huruf-huruf yang membentuk isi pesan. Untuk membacanya, penerima pesan membuka tali dan melepaskannya secara perlahan dari lubang-lubang kecil tersebut. Penerima tak lupa mencatat huruf-huruf yang dilalui tali itu dan ia akan mendapatkan urutan terbalik huruf-huruf isi pesannya.

Mesin KL-7

Pengunjung museum juga diajak untuk melihat mesin persandian yang pernah digunakan oleh beberapa negara di dunia pada masa lalu. Kita akan melihat contoh peralatan enskripsi dari Indonesia, Amerika Serikat (AS), Jerman, hingga Vatikan. Termasuk mesin sandi karya para insinyur Indonesia.

Salah satu yang fenomenal adalah mesin sandi merek ASFAM-7 atau KL-7. Mesin ini dibuat oleh National Security Agency (NSA), AS, dan diperkenalkan pada 1952. Selama bertahun-tahun, mesin ini menjadi salah satu peralatan utama persandian AS dan NATO. Mesin ini didesain lebih canggih dari mesin Enigma milik Jerman.

Mesin sandi KL-7 buatan NSA Amerika Serikat.

Yang menarik, sebuah mesin KL-7 berhasil direbut oleh perwira sandi ABRI (TNI saat ini) pada 1975, dari kelompok Fretelin yang menguasai Timor Timur kala itu. Namun, operator mesin ini ditemukan tewas; dan pesan-pesan rahasia yang pernah diolah dengan mesin inipun ikut “lenyap” bersamanya.

Untuk mengakhiri kunjungan, tersedia beberapa komputer di ruangan terakhir yang bisa digunakan pengunjung untuk mendapat informasi lengkap seputar kriptografi. Ada juga permainan yang menantang pengunjung untuk meretas vigenere, suatu persandian klasik yang menjadi dasar penyandian modern di berbagai negara.

Nah, selama berkunjung ke Yogyakarta, sempatkan untuk datang ke Museum Sandi. Termasuk jika kamu sedang bersiap mengikuti event Borobudur Marathon pada 12-13 November 2022, jangan lupa mampir ke sini ya.