Mari buat daftar perangkat elektronik yang kita gunakan sehari-hari. Ponsel, komputer tablet, komputer, laptop, televisi, alat pemutar musik, kamera, kulkas, kipas angin, mesin cuci, microwave, penyejuk udara, dispenser, setrika, blender. Betapa banyak. Itu pun belum semuanya.

Hidup dengan dikelilingi perangkat elektronik merupakan keniscayaan bagi manusia modern. Jika tidak, tentu saja banyak kegiatan akan terhambat, bahkan kita barangkali tak bisa belajar, bekerja, atau bermain. Namun, yang menjadi masalah adalah saat ini kita kerap mengonsumsinya tanpa kesadaran penuh. Kita menjadi begitu konsumtif.

Data US Cencus Bureau pada Januari 2014 mengungkap, jumlah ponsel yang digunakan masyarakat Indonesia sebanyak 281 juta. Padahal, penduduk negeri ini hanya sekitar 251 juta. Banyak orang yang memiliki lebih dari satu ponsel untuk berkomunikasi maupun mengakses informasi. Ketika ponsel rusak pun, dengan ringan kita menggantinya dengan yang baru.

Rantai perjalanan perangkat elektronik tak berhenti dari produsen, distributor, lalu konsumen. Sebagai pengguna, kita patut bertanya, ke mana barang-barang elektronik yang sudah tidak lagi kita pakai berakhir?

Berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kebersihan DKI Jakarta dan organisasi nirlaba Waste4Change, 55 persen penduduk Jakarta tidak tahu ke mana sampahnya dibawa. Namun, jawaban atas pertanyaan itu sendiri pun sebenarnya tak menggembirakan. Indonesia belum punya pusat pengelolaan sampah elektronik. Sebagian besar sampah ini masih tertumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Sebagian kecilnya dikelola di tempat pemisahan sampah elektronik, yang ada di Pulau Jawa dan Batam. Komponen yang masih bisa digunakan, antara lain plastik dan tembaga, dipisahkan lantas diekspor ke Singapura untuk didaur ulang.

Sampah elektronik yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan masalah. Komponen-komponennya mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Circuit board komputer misalnya, mengandung logam-logam berat seperti timah, krom, besi, timbal, perak, dan tembaga. Komponen di dalam televisi dan monitor komputer bekas pun mengandung timah, kadmium, dan merkuri. Limbah-limbah ini, jika tidak ditangani dengan benar, menjadi polutan bagi air, tanah, dan udara. Ini juga akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan orang-orang yang ada di sekitarnya.

 

Salurkan sampah elektronik

Di Indonesia, meski pengelolaan sampah sudah diatur UU Nomor 18 Tahun 2008, praktiknya masih jauh dari optimal. Konsumen pun kerap tak punya pilihan selain menjualnya ke tukang loak atau membuangnya ke tempat sampah. Melihat hal ini, PT Mitra Kersa Artha, sebuah perusahaan berbasis layanan digital, mengambil inisiatif. Mereka meluncurkan usaha pengumpulan sampah elektronik iSiaga Ecocash.

Ecocash melihat, banyak orang kesulitan membuang sampah elektronik. Selain karena tidak tahu harus dikemanakan, ukuran barang-barang itu kerap cukup besar sehingga tidak mudah dibawa. Tidak jarang terjadi, mereka harus membayar orang lain untuk mengangkut yang membuang barang tersebut.

Ecocash membalik kebiasaan ini. Alih-alih kerepotan membayar orang lain, Ecocash menawarkan cara baru menyalurkan sampah elektronik. Masyarakat bisa menjual sampahnya kepada Ecocash. Petugas akan mendatangi rumah pengguna jasa, mengambil perangkat elektronik bekas, lantas membayarnya. Perangkat yang rusak atau mati pun tetap ada harganya. Saat ini, layanan penjemputan sampah elektronik secara gratis baru ada untuk wilayah Jakarta dan Tangerang. Daerah lain di Jabodetabek bisa dilayani, tetapi dikenai tarif tambahan untuk pengambilan barang.

“Perangkat elektronik tersebut akan kami salurkan untuk dipilah dan didaur ulang. Jadi, peran kami adalah membantu orang-orang meneruskan sampah elektronik mereka ke pihak-pihak yang bisa mengelolanya,” tutur Amrit Gurbani, Co-Founder PT Mitra Kersa Artha di kantornya, Jumat (3/7).

Menyerahkan limbah elektronik kepada pihak yang bisa mengolahnya dapat menjadi salah satu cara yang kita tempuh untuk mengatasi menumpuknya sampah elektronik selain mempertimbangkan masak-masak sebelum membeli perangkat elektronik. Sementara itu, kita tetap berharap perusahaan elektronik mau bertanggung jawab mengelola kembali produknya dan negara kita punya sistem yang terintegrasi untuk mengelola sampah. [NOV]

 

 

Saat Perangkat Elektronik Pensiun

Jakarta

  • Komposisi sampah per orang per hari: sampah organik 54%; kertas 15%; plastik 40a%; kaca, logam, dll 17%.
  • 79% sampah diangkut dan dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi.

21% sisanya didaur ulang atau tidak terangkut.

  • Diapakan sampahmu?
    Dibuang dan ditumpuk 74%, dipilah 19%, dibakar 2%
  • 55% masyarakat tidak tahu ke mana sampah akhirnya akan dibuang.

Indonesia

  • Berdasarkan data BPS 2012, Indonesia mampu memproduksi televisi 12,5 juta kilogram per tahun dan mengimpor 6,7 juta kilogram per tahun. Potensi e-waste televisi mencapai 12,5 miliar kilogram per tahun.
  • Dengan konsumsi barang elektronik yang begitu tinggi, potensi e-waste komputer mencapai 36 miliar kilogram per tahun.

Global

  • Pertumbuhan e-waste: 40 juta ton per tahun, sampah ponsel dan komputer menjadi penyumbang terbesar. Volume e-waste terus mengalami peningkatan 3–5% per tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan limbah jenis lain.
  • Hanya 15% komputer yang didaur ulang, sisanya berakhir di tempat pembuangan.
  • Dalam satu bulan, ada 50 juta ponsel diganti di seluruh dunia. Hanya 10% yang didaur ulang.
  • Dampak dari 2% sampah elektronik sama dengan 70% limbah beracun di tempat pembuangan sampah. Secara ekstrem, timbal dalam elektronik dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, perifer, darah, dan ginjal.

Sumber data: BPS, Waste4Change, Dinas Kebersihan DKI Jakarta, UNEP.

noted: sampah elektronik mau dibawa ke mana