Ketika pelesir, barangkali kita mesti mulai berpikir bukan hanya tentang apa yang bakal kita dapatkan, melainkan juga apa yang dapat kita lakukan atau berikan. Wisatawan memegang kunci vital dalam upaya turut menjaga keberlanjutan pariwisata.
Minat orang untuk berwisata terus meningkat. Mulai 2020 nanti, setiap tahunnya diprediksi sebanyak 1,5 miliar orang akan berwisata. Di sisi lain, pariwisata seperti pisau bermata dua. Kita kerap mendengar, lingkungan, keragaman hayati, atau budaya rusak lantaran gaya berwisata dan pengelolaan destinasi yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah letak relevansi pentingnya kita mulai melakoni gaya berwisata yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
PBB menetapkan 2017 sebagai The International Year of Sustainable Tourism for Development. Kepariwisataan berkelanjutan berarti yang bertanggung jawab atas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan peran industri, komunitas setempat, dan pengunjung. Sebagai pelancong, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi terhadap lingkungan dan komunitas di destinasi yang kita sambangi.
Wisata bahari
Sore itu, Selasa (7/11), Satya Winnie sedang duduk di para-para bambu di pinggir pantai Kampung Arborek, Papua. Ia bercerita, kelas menggambarnya untuk anak-anak Arborek baru saja berakhir.
“Di sini aku mengajar bahasa Inggris dan menggambar untuk anak-anak. Kelas menggambar setiap Senin dan Kamis. Cuma, kemarin aku lupa, makanya kelas menggambarnya jadi hari ini. Di sini, kita sering lupa hari,” kelakarnya.
Satya adalah seorang travel blogger. Januari lalu, ia menginjakkan kakinya pertama kali di Arborek. Kemudian, sejak Oktober ia memutuskan untuk tinggal selama beberapa bulan di Arborek. Ia tinggal di rumah warga dan setiap hari berbaur dalam kehidupan kampung. Kerap ia membantu anak-anak bersiap ketika mereka harus tampil membawakan tarian dan nyanyian khas Papua untuk menyambut tamu.
Sebagai seseorang yang mencintai perjalanan, Satya selalu ingin terlibat dalam kehidupan masyarakat lokal. Mempelajari budayanya, sekaligus menghargai lingkungannya. Laku menghargai lingkungan itu tampak misalnya dalam hal kecil, perkara mandi.
Di Pulau Arborek, air bersih bukanlah sesuatu yang melimpah. Air tanah sangat minim. Warga mengandalkan tampungan air hujan untuk keperluan sehari-hari, kecuali untuk konsumsi. Satya menghitung benar, ia hanya mandi satu kali sehari dengan 10 gayung air. Ia sadar, air harus dihemat di kampung ini.
Selain Satya, sejumlah wisatawan lain yang berkunjung ke Arborek atau pulau-pulau sekitarnya pun sudah cukup sadar lingkungan. Soal sampah, misalnya. Karena pulau-pulau di Raja Ampat belum memiliki tempat pengolahan sampah, sebagian wisatawan membawa kantong sampahnya sendiri. Sampah-sampah mereka akan dibawa kembali ke Waisai, kota penyeberangan ke Raja Ampat, karena sistem pengolahan sampah di Waisai sudah lebih mumpuni.
Sayangnya, harus diakui, belum banyak wisatawan yang berwisata dengan bertanggung jawab. Seperti dipaparkan Ketua Pokja Pariwisata Komite Ekonomi Industri Nasional Donny Oskaria dalam Rembuk Nasional 2017, perilaku wisatawan belum pro-lingkungan ketika melancong di kawasan bahari.
Sebesar 85,2 persen cenderung tidak peduli untuk menggunakan produk daur ulang ketika berwisata, 76 persen tidak melakukan penghematan air, 76 persen tidak pernah menghemat listrik di akomodasi ketika berwisata, dan 77 persen tidak pernah ikut membersihkan sampah di laut. Belum lagi, sebagian wisatawan menginjak batu karang ketika berenang, snorkeling, atau menyelam di laut.
Kunci berwisata dengan bertanggung jawab ada pada partisipasi aktif dalam tindakan konservasi lingkungan, penghargaan terhadap budaya, dan dukungan untuk ekonomi lokal. Dalam berwisata bahari, beberapa hal konkret yang bisa kita lakukan misalnya membawa pulang sampah, bermalam di penginapan milik warga, menyewa jasa pemandu lokal, atau membeli suvenir yang dibuat oleh penduduk setempat. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 Desember 2017