Lazimnya kebaya merupakan busana perempuan Indonesia dengan bahan, model, warna dan kualitas beragam yang digunakan dengan rambut yang disanggul. Sebagai model baju, kebaya memiliki pakem, antara lain bukaan depan, simetris kiri dan kanan, serta tangan menutup siku. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri banyak modifikasi kebaya dengan berbagai versi, tapi setidaknya pakem ini dikenali terlebih dahulu. Kebaya umumnya dikenakan sebagai dress code pada acara resmi tertentu, misalnya wisuda, pelantikan, hingga acara kenegaraan dan pernikahan.
Ada beberapa model kebaya yang saat ini dikenal masyarakat luas dan banyak dipakai oleh perempuan Indonesia tempo dulu yakni kebaya kartini, kebaya kutubaru dengan tambahan bief atau kutubaru yang asal mulanya merupakan kemben yang terlihat di bagian dada, kebaya krancang yang umumnya dikenal sebagai kebaya encim atau kebaya peranakan karena mendapat pengaruh dari perempuan peranakan Tionghoa, serta kebaya noni/nyonya yang mendapat pengaruh noni/nyonya Belanda.
Menurut Eicher [2000] dan Desmond Morris dalam Barnard 2009, busana [kebaya] adalah sistem komunikasi yang efektif dalam merepresentasikan dialektika personal, identitas sosial kultural, etika perilaku yang memberikan kontribusi antropologis. Karena Kebaya berkorelasi langsung dengan identitas yang mengafiliasikan budaya sebuah bangsa dan Negara, sehingga konteksnya berada dalam wacana ideologis, bukan fashion yang membuat perempuan menjadi lebih anggun semata.
Kebaya di Nusantara
Berdasarkan fakta historis, kebaya bermula pada zaman Kerajaan Majapahit, di mana sekitar tahun 1290-an kebaya awalnya dikenakan oleh para permaisuri, keluarga raja dan kaum bangsawan saja. Seiring berjalannya waktu, kebaya juga dipakai oleh masyarakat biasa. Pada awalnya pakaian yang menutupi tubuh perempuan dengan melilit aneka kain yang indah ini disebut Kemben.
Setelah masuknya Islam ke Nusantara, perempuan mulai menyesuaikan dengan kain tambahan yang sekarang kita kenal dengan nama kebaya yang berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Kebaya juga sudah pernah dicatat oleh Gubernur Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles sebagai pakaian adat pada 1817 dalam bukunya yang berjudul “History of Java”.
Kebaya memiliki makna dan nilai-nilai kehidupan bagi perempuan seperti nilai kepatuhan etika, kehalusan dan sikap perempuan yang serba lembut. Pada masa penjajahan, kebaya juga digunakan oleh perempuan Belanda yang tinggal di Indonesia dan menjadikan kebaya sebagai identitas dan perilaku yang mengikuti status sosial perempuan keraton.
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menentapkan kebaya sebagai busana nasional dan identitas bangsa Indonesia yang digunakan oleh perempuan tanpa memandang aspek identitas pribadi [SARA].
Sesuai dengan prinsip Trisakti ”Berkepribadian dalam berbudaya” yang jelas merefleksikan jati diri Bangsa, di mana kebaya sebagai identitas yang merefleksikan hadirnya nilai tradisi dan budaya adiluhung peninggalan leluhur menjadi salah satu media proteksi budaya Bangsa terhadap pengaruh budaya luar yang berpotensi mengikis budaya asli Indonesia.
Berdasarkan deskripsi historis, makna dan peran kebaya, sudah saatnya sebagai anak Bangsa mengekspresikan kecintaan dengan melestarikan kebaya dan mengusung busana nasional Indonesia untuk didaftarkan sebagai warisan budaya dunia non-material ke UNESCO melalui Gerakan Kebaya Goes To UNESCO.
Alumni pelajar dan mahasiswa dalam dan luar negeri mendukung gerakan Kebaya Goes to Unesco, seperti Forum Koordinasi Lintas Fakultas Alumni Universitas Indonesia (Fokal UI), Alumni Jerman Diaspora (Aljerdi) dan Alumni untuk Indonesia (AUI).
“Sudah saatnya kita dukung kebaya sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia. Sukseskan gerakan, “Kebaya Goes to UNESCO”. Caranya cukup mudah, silahkan berfoto dengan kebaya masing-masing, lalu unggah foto tersebut ke website https://tradisikebaya.id/. Gerakan ini dimulai dari tanggal 9 Agustus 2022 sampai 9 Desember 2022. Yuk kita lestarikan kebaya sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia untuk Dunia,” ujar Henry Tedjadharma sebagai perwakilan Aljerdi.
Sebagai anak bangsa, memang sudah saatnya kita bangga akan kebudayaan bangsa sendiri. Kalau bukan kita? Siapa lagi yang akan mengakui dan bangga akan warisan budaya yang luar biasa ini. [AYA]