“Adakah kota di bumi ini yang bisa mengimbangi romantisme Paris?” Pertanyaan berasa retorik ini diucapkan Jeanne, turis dari Johannesburg, Afrika Selatan, beberapa waktu lalu. Bersama suaminya, Paolo; dan si kecil Joseph, ia datang ke kota ini untuk kali kedua. Namun, pada kunjungannya tahun ini, senyumnya kecut. Sebab, sesuatu yang ia cari, kini telah tiada. Mungkin selamanya.
Sudut-sudut ibu kota Perancis memang seolah bertabur bumbu-bumbu romantisme. Di ruas-ruas jalannya, kita bisa dengan mudah menatap pasangan muda-mudi yang tengah kasmaran.
Bahkan, tatkala Paris terendam banjir akibat Sungai Seine meluap pada Juni 2016, koran ini masih mendapati sejumlah pasangan yang nekad berswafoto di sekitar ikon-ikon Paris. Padahal, saat itu, Paris tampak begitu sayu. Sebagian keindahannya nyaris tenggelam.
Mag for Women pernah mengungkap beberapa alasan yang membuat Paris disebut sebagai kota paling romantis di dunia. Salah satunya, karena kekayaan karya seni dan arsitektur bersejarah yang masih terperam dengan baik di kota ini. Di sejumlah museum, kita bisa berjumpa dengan karya-karya monumental dari para pesohor seni dunia. Alasan lain, adanya mitos-mitos tentang keabadian jalinan kasih yang masih membekap beberapa tempat, contohnya di Pont des Arts yang kerap disapa sebagai jembatan cinta.
Jembatan yang punya nama lain Passerelle des Arts ini adalah titian khusus pejalan kaki yang merentang di atas Sungai Seine. Titian sepanjang 155 meter dengan lebar 11 meter ini, dibangun pada 1981-1984. Melalui jembatan ini, kita bisa mencapai Louvre Museum dan Institute de France. Tak seberapa jauh dari sini, berdiri megah Katedral Notre Dame.
Di ruas-ruas pagar jembatan cinta inilah, ribuan gembok pernah dengan sengaja dikunci oleh ribuan pasangan demi mengekalkan pilinan asmara mereka. Mitos tentang kesetiaan tak lekang waktu jika terucap di atas jembatan ini, dianggap sebagai pemicu ribuan turis “menggembok” cintanya di sini dan membuang kuncinya ke sungai.
Akibatnya, bobot jembatan ini menjadi kian berat sebab ribuan gembok baja yang menyangkut di sana mencapai lebih dari 50 ton. Bahkan pada 2014, ada bagian pagar di jembatan ini yang runtuh, bukannya tegak abadi seperti cita-cita cinta para pemasang gembok.
Oleh sebab itu, pada 2015, otoritas Kota Paris memutuskan untuk memotong dan membersihkan semua gembok yang nyantol di Pont des Arts. Pagar jembatan yang sebelumnya dilapisi kawat sehingga menyisakan celah untuk memasang gembok, kini diganti dengan lembaran-lembaran berbahan sejenis plastik kaca.
“Aku datang ke sini pada musim gugur 2014 bersama Paolo, kami saat itu baru saja menikah. Kami menambatkan gembok di jembatan cinta. Kami sudah memotret tempatnya. Setelah Joseph lahir pada 2015, kami mulai menabung lagi untuk mengajak putra kami ke sini. Tapi sekarang gembok kami sudah tiada. Seolah cinta kami ikut ‘runtuh’. Joseph tak bisa melihat bukti janji setia orangtuanya. Tapi, kami memahami keputusan otoritas Paris,” kenang Jeanne sedikit berkelakar.
Dua persoalan
Juru bicara Balai Kota Paris Barbara Atlan, dikutip dari Elanthemag.com, pernah menegaskan alasan di balik keputusan otoritas Paris untuk membersihkan Pont des Arts. “Fenomena lovelock ini adalah malapetaka bagi jembatan. Padahal kita perlu melestarikan warisan.”
Atlan mengungkapkan, kebiasaan memasang gembok di Pont des Arts telah mengundang dua persoalan sejak fenomena ini mulai merebak sekitar 2008. Pertama, memicu terjadinya “degradasi” terhadap salah satu warisan Paris; dan yang kedua, berisiko atas keselamatan pengunjung, baik warga Paris maupun turis lainnya.
Meski demikian, otoritas Paris tetap menyadari posisi penting Pont des Arts di mata para turis. Oleh sebab itu, mereka menjadikan area jembatan cinta ini sebagai medium bagi seni jalanan temporer, seperti grafiti.
Jadi, untuk menyesap keindahan dan memungut remah-remah romantisme Paris, cukuplah berswafoto atau membeli souvenir kecil di sana. Cobalah juga gunakan transportasi massal supaya kita sejenak merasa menjadi warga mereka.
Kalau mau mengungkapkan cinta kepada “si dia” ucapkan saja, “La seule faute est de te laisser de jouer dans mon cœur.” Satu-satunya kesalahan adalah membiarkanmu bermain di hatiku…. Kira-kira begitu arti rayuan tadi. [TYS]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 4 Desember 2017