Jawa yang di Indonesia adalah pulau terpadat dengan populasi 60 persen penduduk Indonesia, hanya memiliki 4 persen dari total cadangan air permukaan. Upaya memperkuat ketahanan air sebenarnya bisa dimulai dari skala yang sangat kecil, dari rumah-rumah tempat kita tinggal dapat kita buat agar mampu menampung air hujan.

Kita bisa berangkat dari rancangan rumah yang mengakomodasi sistem pemanenan air hujan. Pada bulan-bulan tertentu, curah hujan yang tinggi adalah potensi yang baik untuk mengurangi penggunaan air tanah. Langkah ini makin berarti di daerah padat penduduk, terlebih di Jakarta yang penurunan permukaan tanahnya mencapai 5–11 sentimeter per tahun karena air tanah terus diambil.

Segelintir orang membuat sistem yang sudah rapi di huniannya untuk menampung air hujan. Arsitek Realrich Sjarief misalnya, menangkap air hujan lewat lubang-lubang di atap rumahnya. Air lantas dialirkan dengan pipa ke tempat penampungan. Dari penampungan itu, air dimanfaatkan untuk beragam keperluan, seperti mengairi kolam ikan, menyirami tanaman dengan sistem otomatis, dan menyiram atap untuk menurunkan iklim mikro bangunan. Di bagian belakang rumahnya, ia juga memiliki kolam renang kecil yang airnya dari air hujan.

Pakar hidrologi Firdaus Ali membuat sistem water loop di rumahnya. Selain mengolah kembali air bekas dengan memisahkan partikel-partikelnya, Firdaus juga mengatur agar air hujan dan air cucian kendaraan masuk ke resapan. Yang ia lakukan mampu menjaga ketahanan air tanah di lingkungan sekitar rumahnya.

Rumah awan

Di Springfield, Missouri, Amerika Serikat, desainer Matthew Mazzota merancang rumah yang memanen hujan dan menggunakannya untuk menghidupi tanaman pangan yang juga ditumbuhkan di rumah itu. Selain menyerukan pentingnya melestarikan air, lewat karyanya yang diberi nama Cloud House ini, Matthew mengingatkan kembali tentang bergantungnya kita pada siklus alam terkait rantai makanan.

Bangunan rancangan Matthew itu unik. Hanya serupa satu ruangan kecil dengan dua jendela di sisinya, atap sederhana, dan—ini yang membuat penampilannya khas—instalasi serupa awan di atas atap. Ketika hujan, sistem parit di bangunan ini mengumpulkan air hujan dari atap, dan menyalurkannya ke penampuan di bawah rumah.

Penampungan air dan instalasi awan itu terhubung dengan pompa. Di rumah itu ada kursi goyang, yang sekaligus menjadi tuas pompa. Berayun di kursi itu akan mengaktifkan pompa yang menaikkan air dan menciptakan suara seperti rerintik hujan dari air yang mengisi awan berbahan timah.

Awan itu juga memiliki lubang yang akan meneteskan air ke atap. Dari atap, air mengalir ke sisi rumah dan mengairi sayuran yang ditanam di pinggir jendela. Begitulah sistem dibuat di Cloud House.

Sistem pemanenan air hujan sebenarnya sangat memungkinkan untuk menjadi standar baru pembangunan ramah lingkungan. Bayangkan berapa banyak cadangan air tanah yang bisa kita simpan untuk memperpanjang keberlanjutan sumber daya air kelak. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 Maret 2018