SUMMARY

Sekelompok muda mudi terjebak dalam lingkaran waktu, di mana musuh misterius mengejar dan membunuh mereka dengan cara yang mengerikan. Satu-satunya cara untuk melarikan diri adalah bertahan hidup sampai fajar.

Jenis FilmHorror
ProduserAsad Qizilbash, Carter Swan, David F Sandberg, Lotta Losten, Roy Lee, Gary Dauberman, Mia Maniscalco
SutradaraDavid F Sandberg
SkenarioBlair Butler dan Gary Dauberman
PemeranElla Rubin, Michael Cimino, Odessa A’zion, Ji-young Yoo, Belmont Cameli, Maia Mitchell dan Peter Stormare
RilisanSony Pictures
RATING KLASIKA
0 /10

Satu tahun setelah hilangnya Melanie secara misterius, adiknya Clover (Ella Rubin) mengajak sekelompok sahabatnya kembali ke lembah terpencil tempat Melanie terakhir terlihat.

Di sanalah semuanya bermula. Mereka menemukan pusat pengunjung tua yang telah lama ditinggalkan—dan dari sana, sebuah teror dimulai. Dihadang oleh sosok pembunuh bertopeng yang memburu mereka satu per satu, Clover dan teman-temannya menghadapi nasib tragis… hanya untuk terbangun kembali di waktu yang sama, di malam yang sama.

Namun setiap kali mereka mengulang malam itu, sang pembunuh pun berubah—lebih menyeramkan, lebih tak terduga, dan lebih mematikan. Dengan jumlah “nyawa” yang terbatas, mereka harus menemukan cara untuk keluar dari siklus neraka ini. Satu-satunya harapan: bertahan hidup sampai fajar menyingsing.

Ketegangan tanpa akhir

David F Sandberg, yang sebelumnya sukses membangun horor atmosferik lewat Lights Out dan Annabelle: Creation, kembali menunjukkan keahliannya dalam menciptakan suasana mencekam. Until Dawn bermain banyak dengan pencahayaan rendah, lanskap hutan yang sunyi, dan lorong-lorong gelap di pusat pengunjung—semuanya dikemas untuk memicu ketegangan psikologis alih-alih sekadar jump scare murahan.

Efek visual dan tata suara juga mendukung atmosfer dengan sangat efektif. Setiap langkah, setiap derit pintu tua, hingga suara desahan napas menjadi bagian dari ketegangan yang dibangun perlahan tapi pasti.

Ella Rubin tampil kuat sebagai Clover—penuh kepedihan, keteguhan, dan rasa bersalah yang mendalam. Michael Cimino dan Odessa A’zion membawa dinamika emosional yang hidup dalam kelompok, dengan chemistry yang solid dan konflik yang terasa manusiawi. Ji-young Yoo dan Maia Mitchell juga menambah lapisan karakterisasi yang kompleks, menjadikan interaksi kelompok terasa realistis dan pedih saat mereka harus kehilangan satu per satu.

Peter Stormare kembali sebagai Dr Hill, psikolog misterius yang memberikan narasi interaktif dan metaforis, mengingatkan pada peran ikoniknya di versi video game.

Seperti game-nya, film ini mengeksplorasi konsep siklus waktu dan pilihan. Setiap kematian membawa mereka ke pengulangan malam yang sama—namun dengan perubahan: pembunuh yang berbeda, lokasi yang bergeser, dan dinamika emosional yang makin retak. Unsur “death limit” menambahkan tekanan konstan pada narasi. Penonton diajak ikut berpikir strategis: siapa yang harus selamat? Apa yang harus mereka ubah?

Skenario dari Blair Butler dan Gary Dauberman berhasil menerjemahkan gameplay choice-driven dari video game ke dalam medium film dengan cara yang elegan dan menegangkan.

Menariknya, tiap pembunuh yang muncul mewakili elemen ketakutan berbeda—dari hantu berwujud Wendigo, hingga pembunuh brutal ala slasher klasik. Tapi yang membuat horor film ini kuat bukan hanya visualnya, tapi tekanan emosional dan psikologis yang menyertai setiap keputusan para karakter.

Film ini menggabungkan sub-genre horor dengan cerdas: slasher, supernatural, survival horror, dan psychological thriller—semuanya dalam satu paket yang sinematik.

Di balik teror dan darah, Until Dawn menawarkan tema yang lebih dalam tentang trauma, penyesalan, persahabatan, dan keinginan untuk menebus kesalahan. Film ini sebuah pencapaian yang patut diapresiasi. Tertarik menontonnya?

Review overview

Summary

8