Dalam perjalanan hidup manusia, tak ada yang pernah bisa memprediksi cinta. Kemurnian cinta memungkinkan seseorang untuk menjatuhkan pilihannya kepada sosok impian yang mampu menerima kondisinya tanpa syarat. The Shape of Water seakan meneguhkan kecintaan del Torro dengan dunia fantasi. Tak hanya puas dengan dongeng yang sudah ada, Del Torro memiliki imajinasi yang tinggi yang membuatnya mampu menciptakan dongeng baru.

Dongeng yang akan dikisahkan berulang kali dari mulut ke mulut, bagi mereka yang memimpikan cinta yang murni dan dunia yang tak pernah melihat perbedaan sebagai penghalang.

The Shape of Water memfokuskan diri pada karakter bernama Elisa (Sally Hawkins), perempuan yatim piatu penyandang tunawicara yang bekerja sebagai tenaga pembersih di sebuah laboratorium rahasia Amerika Serikat.

Elisa dan Zelda (Octavia Spencer) dipercaya untuk membersihkan laboratorium tersebut. Elisa mengetahui jika laboratorium tersebut menyimpan makhluk air humanoid sebagai bahan penelitian.

Elisa tertarik dengan makhluk tersebut dan sering mengunjunginya, bahkan mengajarinya beberapa hal. Belakangan, dia mendengar jika AS berencana membunuh makhluk tersebut dan mengautopsinya untuk diteliti. Tak rela “teman baru”-nya disakiti, Elisa meminta bantuan Giles (Richard Jenkins) untuk menyelamatkan makhluk tersebut.

Karakter berbobot

Hal yang menyenangkan dari menyaksikan The Shape of Water adalah karakter-karakter yang muncul merupakan orang-orang yang pada umumnya berada di kelas yang tersisih.

Elisa yang merupakan penyandang tunawicara, Zelda yang seorang negro, dan Gilse, seorang seniman homoseksual. Ketiga karakter ini justru digambarkan unik dan powerful, yang memungkinkan terjadinya perubahan signifikan, yang berpengaruh pada kredibilitas AS di mata Rusia.

Sementara itu, karakter makhluk air humanoid yang menjadi favorit del Torro, digambarkan sebagai tak sekadar makhluk air biasa. Makhluk ini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan diri dan menyembuhkan luka pada orang lain.

Dalam sebuah dialog di film ini bahkan dijelaskan bahwa makhluk ini dianggap dewa oleh penduduk asli Amazon.

Dalam menciptakan makhluk ini dan menyusun plot film ini, Del Torro merujuk pada film klasik A Creature from the Black Lagoon (1954) dan memimpikan sang monster bisa bahagia dengan perempuan yang dikasihinya.

Elisa dan makhluk air humanoid menjadi simbol keberbedaan. Ketika dunia sibuk mengelompokkan keberbedaan—karena agama, ras, kelas sosial, film ini menyentil isu tersebut dengan sangat indah, menunjukkan bahwa si bisu pun boleh jatuh cinta dengan spesies bukan manusia.

review film the shape of water

Sementara itu, seorang negro pun boleh bersuara sebebas mungkin, tanpa perlu takut akan statusnya yang pada masa itu dianggap kelas paling bawah.

Del Torro juga meruntuhkan anggapan bahwa karakter utama yang kuat adalah yang memiliki kekuatan. Lewat karakter yang sangat humble, seorang bisu yang bekerja sebagai janitor, del Torro seakan ingin berbagi, seseorang yang terlihat lemah justru bisa memberikan kejutan yang tak pernah disangka-sangka.

Konsep pahlawan yang sudah terbangun dalam benak masyarakat pun tercabik-cabik dalam film ini, digantikan perspektif baru tentang kepahlawanan.

Menyaksikan The Shape of Water memerlukan effort lebih. Perlu diakui, film ini bukan tipe film penghibur yang melunturkan kepenatan—bagi sebagian orang. Film ini lebih pantas dinikmati sebagai karya seni: dikagumi keindahannya dan diinterpretasi seluas dan seliar mungkin.

Patutlah film ini diganjar lebih dari 200 nominasi di berbagai ajang penghargaan dan berhasil memenangi 100 lebih di antaranya.

Ini adalah karya seni, yang tak hanya bisa dinikmati, tetapi makna yang tersirat di dalamnya juga bisa diresapi dan direnungkan. [DLN]

Sutradara : Guillermo del Torro

Skenario :
Guillermo del Torro, Vanessa Taylor

Pemain :
Sally Hawkins, Michael Jenkins, Michael Shannon, Doug Jones, Michael Stuhlbarg, Octavia Spencer

Rilisan :
Amerika Serikat

Tayang Perdana :
April 2018

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 April 2018