SUMMARY
28 tahun setelah wabah virus mematikan menghancurkan populasi. Sejumlah penyintas berhasil membangun komunitas di sebuah pulau kecil yang dikarantina ketat, terhubung ke daratan utama melalui satu jalur pertahanan yang kuat.Jamie (Aaron Taylor-Johnson) dan Spike (Alfie Williams) mencoba keluar pertahanan dan memulai misi ke daratan utama. Mereka menemukan rahasia, keajaiban dan kengerian yang telah mengubah tidak hanya yang terinfeksi tetapi juga para penyintas lainnya.
Jenis Film | Thriller |
Produser | Andrew Macdonald, Peter Rice, Bernard Bellew, Danny Boyle, dan Alex Garland |
Sutradara | Danny Boyle |
Skenario | Alex Garland |
Pemeran | Jodie Comer, Aaron Taylor-Johnson, Jack O’Connell, Alfie Williams, dan Ralph Fiennes |
Rilisan | Sony Pictures |
- 18 Juni 2025
- 115 Menit
- 17+
Setelah dua dekade lebih sejak 28 Days Later (2002) menggebrak dunia dengan teror Rage Virus dan sinematografi handheld yang mencekam, sutradara Danny Boyle dan penulis Alex Garland kembali dengan babak baru yang sangat dinanti: 28 Years Later.
Film ini bukan sekadar sekuel, tapilebih kepada kebangkitan atmosfer, narasi, dan ancaman yang jauh lebih dalam dari sekadar infeksi.
Film ini berlatar 28 tahun setelah wabah Rage Virus menghancurkan peradaban Inggris. Di sebuah pulau kecil yang masih menjadi bagian dari karantina nasional, seorang ayah bernama Jamie (Aaron Taylor-Johnson) dan putranya, Spike, melanggar batas larangan dan menjelajah ke daratan utama.
Yang mereka temui bukan hanya jejak kehancuran, tetapi mutasi dalam arti yang lebih luas—pada makhluk, pada masyarakat, dan bahkan pada moral manusia itu sendiri.
Cerita lebih luas dan ancaman lebih sunyi
Alih-alih hanya mengandalkan zombi cepat dan jump scare, film ini menggeser nuansa menjadi lebih seperti folk horror dengan latar hutan berkabut, pemukiman terisolasi, dan kultus misterius yang menunjukkan betapa jauh trauma dapat memelintir peradaban.
Aaron Taylor-Johnson tampil sangat meyakinkan sebagai Jamie—sosok ayah yang penuh tekad namun penuh luka. Begitu pula dengan Alfie Williams (memerankan Spike) sukses memberikan sisi emosional yang menyentuh di tengah kekacauan.
Tak kalah menarik, Jodie Comer sebagai Isla tampil memikat dan misterius, membawa kedalaman psikologis yang menjadi kunci pada tema identitas. Jack O’Connell dan Erin Kellyman mencuri perhatian sebagai anggota kultus yang menantang batas kemanusiaan itu sendiri.
Kejutan kecil juga hadir berupa referensi halus ke karakter Jim (Cillian Murphy) dari film pertama—cukup untuk membuat fans lama tersenyum (atau bergidik).
Berbeda dari film-film sebelumnya yang penuh kepanikan, 28 Years Later lebih fokus pada horor yang mengendap—tentang kesepian, kehilangan, dan bagaimana masyarakat menciptakan “aturan baru” di tengah dunia yang telah runtuh.
Tema trauma kolektif, isolasi, serta kemunculan tatanan kepercayaan baru menjadi sorotan utama, dengan eksplorasi mendalam terhadap bagaimana manusia memilih bertahan atau menyerah.
28 Years Later bukan hanya lanjutan dari dua film sebelumnya—ia adalah transformasi. Dengan pacing yang lebih lambat tapi menggigit, film ini mengedepankan kedalaman karakter, suasana yang menekan, dan konflik moral yang relevan dengan dunia pasca-pandemi saat ini.
Jika kamu mencari cerita horor yang cerdas, manusiawi, dan menghantui lama setelah kredit akhir bergulir, maka 28 Years Later adalah film yang sangat layak ditonton.
Review overview
Summary
8