Apakah kamu masih mengalami masa-masa saat berkirim kabar atau ucapan selamat hari raya menggunakan jasa pos? Ya, saat itu, kita biasanya membutuhkan prangko untuk berkirim surat.

Namun, sebelum prangko ada, ongkos pengiriman surat masih dibayarkan secara tunai. Setelah kertas berharga ini diciptakan, setiap orang bisa mengirim surat dengan menggunakan menempelkan sejumlah prangko yang sesuai dengan biaya pengiriman surat.

Sejarah prangko

Kini, prangko tetap diterbitkan oleh pemerintah. Meski penggunaannya lebih bertujuan memperingati momen-momen khusus kenegaraan. Berikut ini, sekilas sejarahnya.

Awal 1680

Berawal pada 1680, William Dockwradi dari Inggris membuat prangko pertama yang dicap dengan tanda pos segitiga bergaris ganda dengan tulisan “Penny Post Paid”. Namun, penemuan ini ditentang para kurir dari perusahaan pos lain karena dianggap sebagai pelanggaran monopoli.

6 Mei 1840

Setelah itu, pada 6 Mei 1840, Inggris mulai memelopori penggunaan prangko dengan menjual yang berperekat pertama di dunia yang terkenal dengan nama “Penny Black”. Tiga tahun kemudian, Brasil menjadi negara kedua yang menerbitkan prangko berperekat secara nasional. Kemudian, negara-negara lain mulai mengikuti untuk pengiriman surat di dalam negeri.

1 April 1864

Pada 1 April 1864, prangko pertama terbit di kawasan Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda senilai 10 sen. Desainnya yang berwarna merah menampilkan gambar Raja Willem III dari Belanda.

1942-1946

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, Jepang menerbitkan dengan gambar bola dunia disertai peta Kekaisaran Jepang. Pada 1946, prangko pertama dicetak oleh Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta dalam rangka “Memperingati Setengah Tahun Merdeka”.

Masa jual dan masa laku

Fakta menarik berikutnya adalah tentang perbedaan masa jual dan masa laku. Masa jual prangko adalah rentang waktu ketika benda ini diperjualbelikan oleh pemerintah. Sementara itu, masa laku adalah rentang waktu ketika benda ini masih bisa dipergunakan untuk keperluan perposan.

Saat ini, masa jual prangko di Indonesia adalah selama tahun penerbitan ditambah satu tahun berikutnya. Setelah itu, pemerintah akan menghentikan penjualannya. Namun, untuk memenuhi kepentingan para filatelis, pemerintah masih mengizinkan para diler dan agen-agen filateli untuk menjual prangko yang telah habis masa jualnya.

Sementara itu, masa laku adalah selama tahun dari penerbitan ditambah tiga tahun berikutnya. Misalnya, prangko yang diterbitkan 2013. Prangko tersebut memiliki masa jual sampai tahun 2014 dan masa laku sampai tahun 2016.

Filateli

Nah, salah satu hobi menarik dan masih banyak peminatnya hingga saat ini adalah mengoleksi prangko. Hobi ini dikenal sebagai filateli.

Menurut Wikipedia, filateli berasal dari bahasa Perancis, philatélie. Istilah ini diciptakan Georges Herpin pada 1864. Herpin mengenalkan kata baru ini untuk mengganti timbromanie yang sempat digunakan selama beberapa tahun tapi kurang popular.

Herpin memadukan kata dari bahasa Yunani, philo, yang berarti suka; dengan ateleia yang artinya tidak membayar kewajiban dan pajak. Pada saat itu, berkirim surat menggunakan prangko telah mengatur bahwa penerima surat tidak lagi dibebani biaya karena segala ongkos dan pajaknya sudah dibayarkan oleh pengirim.

Namun, filateli sebenarnya juga memiliki arti yang lebih luas, yakni studi tentang prangko dan sejarah pos. Adapun istilah timbromania, timbrofilia, atau timbrologi secara bertahap tidak lagi digunakan sejak filateli dipakai secara umum pada 1860-an.

Menekuni filateli bisa mendatangkan keuntungan yang cukup banyak. Beberapa pegiat filateli mengaku bisa meraup ratusan juta rupiah dari penjualan selembar atau suatu seri prangko yang langka. Sebab, jejaring kegiatan filateli tidak lagi sebatas negara, tetapi juga sudah mendunia. [*]

Baca jugaIni yang Perlu Diketahui Kalau Mau Koleksi Arloji Kuno