Belakangan ini, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali marak di berbagai sektor industri di Indonesia. Dari perusahaan rintisan hingga korporasi besar, kabar tentang karyawan yang harus angkat kaki dari tempat kerja datang silih berganti. Fenomena ini tentu menimbulkan keprihatinan mendalam, tidak hanya bagi para pekerja yang terdampak, tetapi juga bagi iklim ketenagakerjaan secara keseluruhan. Ironisnya, di balik sejumlah keputusan PHK tersebut, muncul pola yang mengindikasikan bahwa sebagian perusahaan mungkin hanya mengikuti langkah perusahaan lain tanpa pertimbangan strategis yang matang. Fenomena tersebut dikenal sebagai copycat layoff.

Copycat layoff adalah fenomena ketika banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dalam waktu yang berdekatan, sering kali terlepas dari kondisi keuangan atau kebutuhan spesifik masing-masing perusahaan.

Istilah ini muncul karena terkesan seperti perusahaan-perusahaan tersebut meniru atau mengikuti tren PHK yang dilakukan oleh perusahaan lain, terutama perusahaan besar dan berpengaruh di industri yang sama atau bahkan lintas industri.

Dalam fenomena ini, PHK tidak lagi menjadi solusi spesifik atas masalah perusahaan, tetapi dianggap sebagai respons standar terhadap tren industri atau tekanan pasar.

Perilaku meniru ini melahirkan semacam efek domino, yaitu satu pengumuman PHK dari perusahaan besar dapat memicu tindakan serupa dari perusahaan-perusahaan lainnya. Tidak jarang, keputusan ini diambil tanpa analisis mendalam mengenai kebutuhan aktual, kelangsungan bisnis, atau keberlanjutan organisasi. Akibatnya, PHK dilakukan bukan karena harus, melainkan karena dianggap “perlu” demi menjaga citra atau menghindari ketertinggalan dalam dinamika industri.

Faktor pemicu

Ada sejumlah faktor yang mendorong perusahaan untuk mengikuti tren PHK, meski tak selalu berkaitan dengan kondisi keuangannya. Dalam banyak kasus, pengumuman PHK justru mendapat respons positif dari pasar karena dianggap sebagai langkah efisiensi biaya yang akan meningkatkan profitabilitas. Hal ini membuat manajemen merasa perlu mengambil langkah serupa agar tidak terlihat pasif atau boros.

Faktor kedua adalah persepsi industri, yaitu PHK dianggap sebagai respons wajar terhadap ketidakpastian ekonomi, seperti perlambatan global, perubahan teknologi, atau penurunan permintaan.

Ketiga, adanya groupthink dalam pengambilan keputusan strategis. Ketika satu perusahaan besar mengambil langkah PHK, manajemen perusahaan lain bisa merasa bahwa keputusan tersebut pasti berdasar, lalu ikut meniru tanpa mempertimbangkan konteks internalnya sendiri.

Selain itu, legitimasi sosial menjadi alasan penting. Dengan mengikuti tren PHK atau copycat layoff, perusahaan merasa bisa membenarkan keputusan yang tidak populer, menghindari tekanan opini publik, dan meredam pertanyaan sulit. Terakhir, tentu ada faktor pengurangan beban gaji, yang meski tidak selalu menjadi alasan utama, tetap menjadi daya tarik dalam jangka pendek.

Dampak

PHK massal yang tidak berbasis pada kebutuhan strategis dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif serius. Yang paling nyata adalah dampak pada karyawan, baik yang terkena PHK maupun yang masih bertahan.

Karyawan yang kehilangan pekerjaan menghadapi tekanan finansial dan emosional, sementara karyawan yang tersisa kerap mengalami penurunan semangat kerja, rasa takut, dan kehilangan kepercayaan pada perusahaan.

Dampak lainnya adalah hilangnya talenta penting. Tanpa perencanaan matang, perusahaan bisa kehilangan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk inovasi dan pertumbuhan jangka panjang.

Baca juga: Tak Perlu Kecewa, Ini Cara Menghadapi Layoff

Reputasi perusahaan pun terancam, baik di mata pencari kerja, mitra bisnis, maupun publik. PHK yang dinilai reaktif dan tidak perlu bisa memunculkan anggapan bahwa perusahaan tidak punya arah atau kepemimpinan yang kuat.

Bahkan, inovasi bisa terhambat karena suasana kerja menjadi penuh ketidakpastian. Tim yang merasa terancam cenderung fokus bertahan, bukan berinovasi. Yang paling merugikan, PHK massal tidak menyelesaikan akar masalah jika dilakukan hanya untuk meniru. Masalah seperti strategi yang lemah, inefisiensi proses, atau kegagalan membaca pasar tetap ada dan tak tersentuh.

Agar terhindar dari jebakan copycat layoff, perusahaan perlu memperkuat kemampuan analisis internal dan pengambilan keputusan yang independen. Sebelum mengambil langkah PHK, penting untuk mengevaluasi ulang kondisi keuangan, kebutuhan organisasi, dan proyeksi bisnis jangka panjang. PHK seharusnya menjadi solusi terakhir, bukan respons otomatis terhadap tekanan eksternal.

Kedua, transparansi komunikasi kepada karyawan dan publik sangat penting. Jika memang harus melakukan PHK, perusahaan harus menjelaskan alasan secara jujur dan terbuka agar tidak terkesan meniru atau panik. Ketiga, perusahaan bisa mengejar efisiensi dengan cara lain seperti pelatihan ulang, otomasi, atau restrukturisasi tugas.

Terakhir, dibutuhkan kepemimpinan yang berani dan strategis, yang tidak mudah terbawa arus tren sesaat. Perusahaan yang kuat adalah mereka yang bisa mengambil keputusan berdasarkan visi dan data, bukan karena ikut-ikutan. Dengan cara ini, perusahaan tidak hanya menyelamatkan bisnis, tetapi juga membangun kepercayaan jangka panjang dari karyawan, investor, dan publik.