Pendar kuning matahari mulai menerobos tudung pepohonan yang rapat di Bitung pagi itu. Suhu di luar sudah tidak sedingin subuh tadi. Kami mulai berani membuka jendela mobil, membiarkan angin sejuk dan udara bersih masuk. Dari jendela itu juga, kami memperhatikan sekitar, menikmati rimbunnya hutan sambil mencari gapura penanda pintu masuk Taman Wisata Alam Tangkoko, Batu Putih.

Ober Kakauhe, pemandu kami yang sudah menunggu, segera menghampiri begitu kami sampai dan turun dari mobil. Pukul 05.30. Kami lebih lambat setengah jam dari waktu mulai trekking yang sebelumnya disepakati. “Sudah agak siang, tetapi semoga kita masih bisa bertemu tarsius dan yaki,” ujar Ober. Para penghuni hutan ini sudah memulai aktivitas pagi mereka jauh lebih dulu sebelum kami datang.

Tangkoko memang menjadi habitat binatang-binatang endemik Sulawesi Utara, seperti yaki atau monyet hitam (Macaca nigra), tarsius, burung rangkong, dan burung raja udang. Lanskapnya pun menarik. Hutan ini terdiri atas tiga bagian utama: pantai, hutan, dan pegunungan. Ini membuat jalur yang dilalui juga beragam. Kita bisa menemui jalur yang landai, menyempit, juga terjal.

Dari pintu utama, kita pertama-tama akan melintasi jalur landai. Embun masih tersisa di pucuk-pucuk daun dan rerumputan, membasahi sepatu dan ujung celana panjang. Kerap terdengar sahut-sahutan burung dan riuh suara serangga.

“Kita cari yaki dulu, ya. Dibandingkan tarsius, yaki lebih sulit ditemukan karena sering berpindah tempat untuk mencari makan,” kata Ober.

Tak lama kemudian, ia bergegas ke arah selatan sambil meminta kami mengikuti. Dengan melangkah cepat-cepat, kami pun berjalan di belakangnya sampai ke satu titik, sekitar 30 meter dari posisi awal kami. “Ah, sayang sekali mereka sudah pergi,” kata Ober.

2508-LANGGAM_5
2508-LANGGAM_6
2508-LANGGAM_7
2508-LANGGAM_8
2508-LANGGAM_1
2508-LANGGAM_3
2508-LANGGAM_4

Ober menjelaskan, di hutan yang luas itu, para pemandu menemukan yaki dengan mendengarkan suara dan menghidu baunya. “Yaki punya suara yang kuat. Kalau mendengarnya, kami akan menuju ke arah asal suara. Selain itu, bau badan yaki sangat khas, kadang tercium ketika terbawa embusan angin,” jelas Ober.

Kelompok pemandu di Tangkoko juga saling bekerja sama. Kadang mereka memberi tahu satu sama lain lokasi yaki agar wisatawan yang sedang didampingi pemandu berkesempatan melihat yaki secara langsung. Seperti pagi itu, kami bergerak ke arah Pantai Pareng setelah Ober mendapatkan pesan dari bibinya, yang juga seorang pemandu. Ada sekelompok yaki di dekat pantai.

Benarlah. Begitu sampai di sana, kami mendapati puluhan yaki sedang mencari serangga di tanah dan pepohonan. Bercengkerama sambil mengais-ngais. Kadang berkejaran sambil berteriak ketika saling berebut makanan.

Yaki adalah satwa endemik Indonesia yang hanya terdapat di Pulau Sulawesi. Seluruh tubuhnya hitam, dengan rambut yang membentuk jambul di bagian tengah kepalanya, seperti gaya rambut mohawk. Jenis monyet makaka terbesar ini memiliki pantat merah muda. Ober menerangkan, yaki hidup berkelompok. Berdasarkan pengamatan selama ini, 1 kelompok paling banyak 110 ekor. Jika jumlahnya sudah terlalu banyak, mereka akan membentuk kelompok baru. Saat ini, populasinya diperkirakan hanya tersisa 3 ribu ekor.

Bersama kami, ada pelancong lain yang mengamati yaki. Pasangan Ellie dan Brian dari Inggris, serta Poe, anak mereka yang berusia 11 bulan. “Lihat, Poe kecil tertawa melihat tingkah para yaki!” seru Ellie. “Kami berdua sangat senang bisa melihat langsung yaki di habitatnya dan membawa Poe merasakan pengalaman langka seperti ini,” lanjutnya.

Hantu dan beringin pencekik

Perjalanan dilanjutkan dengan mencari tarsius. Hewan kecil ini memang lebih mudah ditemukan ketimbang yaki karena mereka biasanya memilih satu pohon untuk dijadikan sarang tetapnya. Pohon-pohon ini sudah dihafal pemandu. “Tarsius itu binatang nokturnal. Pergi mencari makan pada sore dan malam hari, kembali ke sarang ketika subuh,” terang Ober.

Jenis monyet yang ukurannya paling besar hanya sekepalan tangan ini mempunyai mata besar yang berkilauan. Pada malam hari, ketika dulu para pemburu masih kerap mencari buruan, sesekali senter mereka menyorot mata besar berkilauan di balik ranting-ranting pohon. Dengan cepat, sepasang mata itu lalu berpindah ke pohon lain. Itulah tarsius, yang kalau melompat bisa sampai 4 meter jauhnya. Ia lalu dijuluki monyet hantu.

Kini, tarsius ada di depan kami, bersembunyi di celah pohon besar. Cokelat kulitnya menyaru dengan warna batang pohon, tetapi matanya cerlang. Pada siang hari, umumnya mereka tidak mencari makan lantaran takut incaran elang. Tetapi, Ober ingin memperlihatkan bagaimana tarsius menangkap mangsanya. Ia pun menaruh belalang pada pohon di depan tempat tarsius bernaung. Tanpa ancang-ancang, tarsius melompat dengan sangat cepat, menangkap belalang dan langsung kembali ke celah tempatnya berdiam. Betapa panjang kaki belakangnya dibandingkan proporsi tubuhnya.

Trekking di Tangkoko tidak pernah membosankan. Dalam perjalanan yang singkat itu, kami sempat pula melihat burung endemik raja udang dan rangkong di pucuk pohon nan jauh. Pekik rangkong yang kadang terdengar seperti gonggongan anjing menembus ruang-ruang hutan.

Vegetasinya hutan ini pun kaya. Ober menunjukkan kepada kami ara atau beringin pencekik (Ficus annulata). Pohon dengan akar yang saling berkait itu menjulang tinggi sekali. “Tingginya sekitar 70 meter, diameternya sampai empat meter. Coba, masuk ke sini,” ujar Ober. Pohon itu ternyata berongga. Masuk ke rongganya seperti berada dalam pipa raksasa, dengan belitan akar pohon yang kokoh sebagai dindingnya.

Ara pencekik adalah tumbuhan empifit, yang menumpang pada pohon lain. Kehidupannya bermula ketika monyet atau burung menjatuhkan biji ara ini di dahan pohon. Biji ini kemudian bertunas dan tumbuh sebagai parasit. Namun, perlahan beringin ini akan menjuntaikan akarnya sampai ke tanah, membelit pohon inang, dan membuatnya membusuk sampai lapuk. Rongga yang bisa dimasuki di pohon itu adalah bekas tempat hidup inangnya.

Tangkoko mengizinkan kita meresapi begitu harmonisnya kehidupan rimba. Tiga jam berjalan di dalamnya menjadi pengalaman yang membekas, mungkin sampai seumur hidup. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]

Foto-foto Tommy B. Utomo

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 25 Agustus 2017