Peternakan koi yang dikelola oleh Andrean BM, Martinus Dwiyanto, Galih Ibnu Prasetyo, Nurul Fajar, dan Trianto ini pada mulanya sebatas aktivitas hobi sederhana. Ditemui Klasika Kompas pada Jumat (12/6/2020), mereka berbagi kisah seputar kegiatan memelihara koi yang sudah berjalan sejak 2009 ini.
“Dulu itu mulai sekitar 2009, hanya hobi biasa. Buat kolam sederhana, kemudian beli beberapa ekor koi di pasar. Kita belum tahu kualitas koi, gennya, dan sebagainya. Pada 2010, Gunung Merapi meletus dan koi yang kami pelihara habis, mati semua, terpapar abu vulkanik,” kata Andre.
Karena sudah menjadi hobi, lanjut Andre, ia tetap melanjutkan memelihara koi usai erupsi Merapi. Namun, kala itu, ia bertekad untuk belajar lebih dalam lagi tentang teknik pemeliharaan, jenis-jenis koi, membedakan jantan dan betina, cara memilih indukan, jenis koi impor, dan sebagainya.
“Saya bertekad bahwa koi-koi ini saya pelihara tidak sekadar untuk hobi, tapi juga menjadi bidang usaha yang punya target-target pencapaian ke depannya. Tidak hanya persoalan nilai ekonomi, tetapi juga produksi atau untuk menghasilkan koi-koi yang berkualitas dengan silsilah yang jelas,” imbuh Andre.
Mutu air adalah kuncinya
Selama proses belajar itu, kesalahan-kesalahan tetap terjadi. Dwiyanto mengungkapkan, dulu, ia pernah mendapat beberapa ekor koi yang sudah besar untuk dipelihara di kolam di rumahnya.
“Andre bikin kolam, saya juga buat kolam. Andre lalu memberi saya beberapa ekor koi. Setelah beberapa minggu, ikan itu saya pelihara, ternyata malah mati semua, terkena penyakit,” katanya.
Dari kejadian itu, mereka menjadi lebih paham bahwa kunci memelihara koi itu terletak pada mutu airnya. “Kita harus ‘memelihara’ airnya. Karena dengan air yang terjaga dengan baik, airnya akan berkualitas sehingga ikan juga menjadi sehat. Kolam-kolam kemudian kami renovasi dengan standar yang baik untuk pemeliharaan koi, mulai dari sistem fiIterisasi air, pompa air, aerator, hingga media filter,” ujar Dwiyanto.
Galih menambahkan tentang berbagai persoalan yang dihadapi saat memulai usaha peternakan koi ini. Dan, masih berhubungan dengan kualitas air.
“Pada 2017, kami belajar mengembangbiakkan. Setelah berhasil menetaskan ribuan telur dari indukan koi yang kami miliki, kami mencoba menebar benih-benih koi itu di kolam lumpur. Hasilnya, tak seberapa lama ribuan benih koi itu mati semua. Kami lalu mencari tahu apa penyebabnya. Ternyata, air kolam terkontaminasi pestisida. Wajar saja sebab kolam lumpur ini lokasinya di persawahan. Sejak saat itu, kami putuskan untuk membuat sumur bor sehingga air kolam tidak tercampur dari area lain,” ujarnya.
Koi digemari anak muda
Andre menekankan, menjalani hobi yang kemudian dikembangkan menjadi usaha itu memerlukan minat. Kalau sudah ada minat, kata dia, kita akan menjadi telaten.
“Teman-teman di Comingsoon ini sampai sekarang masih belajar terus. Apalagi koi itu jenis ikan hobi yang membuat kita beraktivitas terus. Maksudnya begini, koi dinikmati keindahannya dari atas, bukan dari samping. Kalau ikan akuarium, kan, dinikmati dari samping. Nah, karena itu, koi dipelihara dalam kolam. Mau tak mau, saban hari kita mesti telaten memeriksa kondisi koi dan kolamnya. Memberi makan dari kolam satu ke kolam lainnya. Kita membuat jadwal kapan harus memberi pakan, mengecek air, dan membersihkan filter kolam. Jadi, tubuh kita ikut bergerak terus,” imbuhnya.
Dari sisi kesinambungan, lanjut Dwiyanto, koi itu tidak mengenal “musiman” dan cukup segmentif. Sejak belasan tahun lalu sampai sekarang, koi masih menjadi primadona. “Komunitas atau peternak-peternak baru koi terus bermunculan. Begitu juga dengan kompetisi-kompetisi masih terus digelar. Ini menunjukkan koi selalu memiliki penggemar dan pasarnya. Apalagi, banyak yang meyakini bahwa koi itu ikan hoki ya, untuk mendatangkan rezeki.”
Selain itu, ujar Dwiyanto, koi itu memiliki rentang harga yang cukup lebar sehingga bisa menampung pehobi pemula, peternak, hingga pehobi papan atas. Semua tergantung kita mau fokus di segmen apa.
“Jadi, kalau ada yang bilang bahwa koi itu hobi mahal, menurut saya kurang tepat ya. Di pasaran, koi ada yang Rp 5.000 per ekor. Ada juga yang dijual sampai ratusan juta rupiah per ekor. Kualitas dan kejelasan silsilah seekor koi akan memengaruhi harganya. Penggemar koi saat ini, menurut saya juga banyak yang berasal dari kalangan anak muda. Pelanggan Comingsoon ini 75 persennya adaIah anak muda,” katanya.
Butuh kesabaran dan kejelian
Nama “Comingsoon” mereka pilih dengan tujuan agar pelanggan atau konsumen selalu setia menantikan koi-koi bermutu yang asli dihasilkan dari peternakan ini. Selain itu, untuk terus memotivasi para pengelola agar tidak lelah belajar untuk mencapai target yang lebih tinggi.
“Di Jepang, butuh puluhan tahun untuk menghasilkan produk koi unggulan. Peternak di sana amat serius dan sabar dalam mengembangbiakkan koi-koi yang diinginkan. Kami juga belajar menjadi breeder (peternak) seperti di sana. Mulai dari memilih jenis indukan yang bagus, kemudian mengawinkan, menetaskan telur, menebar ke kolam besar, sampai bisa memasarkan,” terang Andre.
Kesabaran itu dibutuhkan untuk menunggu benih yang menetas sampai muncul pola-pola warna yang diinginkan. Jika peternak telah memilih jenis indukan yang bagus, benih-benih yang nanti dihasilkan belum tentu memenuhi standar kualitas. Jadi, kata dia, tidak ada rumus yang pasti. Benih-benih koi dari perkawinan induk berkualitas harus diamati dan diseleksi kembali. Ini tentu saja membutuhkan waktu.
Belum lagi jika koi terserang penyakit. Peternak harus merawatnya dengan sangat sabar. Mulai dari mengarantina koi yang sakit, mengobati, hingga mengawasi kondisinya hari per hari.
“Karantina itu wajib dilakukan jika koi sakit. Harus segera dipisahkan dari yang sehat. Selain mengamati kondisi koi yang sakit, kita juga harus mengawasi koi-koi yang sehat, apakah ada gejala tertular atau tidak. Karantina juga dilakukan untuk koi-koi yang baru datang dari impor atau baru dipanen dari kolam sawah. Karantina ini sekitar dua minggu,” lanjut Andre.
Salah satu penyakit yang amat diwaspadai para peternak adalah aeromonas. Penyakit ini menyerang insang ikan. Gejalanya, muncul ruam merah pada tubuh ikan, terutama di sekitar insang. Ikan yang terpapar penyakit ini menjadi tidak aktif dan menyendiri.
Kejelian juga diperlukan dalam beternak koi. Alasannya, satu daerah dengan daerah yang lain bisa memiliki kondisi lingkungan berbeda.
“Misalnya kita belajar dari breeder di Jepang, di sana mereka menghadapi empat musim, sedangkan di sini hanya kemarau dan hujan. Belajar dari breeder lokal pun juga bisa beda lagi, contohnya jenis air tanah yang berbeda atau jenis hama predator yang dihadapi. Jadi, kita harus jeli menerapkan trik-trik memeliharanya,” tambah Galih.
Menyortir ribuan benih
Untuk saat ini, Comingsoon masih memijahkan beberapa jenis koi. Namun, ke depannya, mereka ingin mencapai spesialisasi pada jenis showa, kujaku, dan shusui. Jenis ini, selain bernilai ekonomi tinggi, juga menjadi kegemaran para pehobi. Termasuk sering menjadi juara pada ajang kompetisi.
Andre menjelaskan, koi secara garis besar dibedakan antara yang bersisik dan tidak bersisik. Lalu, warna motif yang muncul akan memengaruhi penamaannya. “Showa itu yang paling eyecatching, kekhasannya terdapat tiga warna; merah, hitam, dan putih. Kalau kujaku itu nuansa sisiknya metalik atau terdapat warna merah mengilap. Sementara itu, shusui itu jenis koi tanpa sisik, tetapi dipunggungnya terdapat motif yang mirip sisik.”
Sebagai peternak, Comingsoon memiliki banyak indukan. Beberapa di antaranya, benihnya dulu diimpor dari Jepang. Calon indukan ini didatangkan dari Jepang melalui suatu dealer di Jakarta. Dari sisi kualitas, koi-koi impor tersebut memang cukup oke. Di samping memiliki silsilah yang jelas, koi-koi itu digaransi dengan sertifikat.
Comingsoon berusaha mengembangbiakkan koi-koi asli Jepang tersebut sembari menjaga kejelasan silsilahnya. Setiap usaha kawin silang, misalnya, selalu dicatat dan hasilnya ditandai. Ini bertujuan untuk menilai kualitas hasil silangan.
Seleksi benih dilakukan sejak telur-telur koi menetas. Setiap 1 kali proses penetasan selesai, setidaknya terdapat sekitar 30 ribu ekor benih koi ukuran rata-rata 0,5 sentimeter (cm). Benih-benih ini bernuansa hitam dan putih kekuningan.
Benih-benih ini kemudian segera dipisahkan untuk menjaga kemurnian ras. “Misalnya kita kawinkan jenis showa, benih-benihnya segera kita sortir. Benih yang warnanya hitam pasti kita ambil, sebab kelak ini pasti akan menjadi koi jenis showa. Benih ini namanya kuroko. Setelah benih berumur dua minggu baru kita tebarkan ke kolam sawah. Sementara itu, benih yang berwarna putih kekuningan kita sendirikan untuk pembesarannya. Yang putih kekuningan ini baru akan kita seleksi kembali setelah motifnya tampak jelas,” terang Andre.
Menurut pengalaman peternak Comingsoon, rata-rata indukan koi akan menyelesaikan proses bertelurnya selama 1–2 hari. Sebelum telur-telur menetas, indukan sudah harus dipisahkan dan dikarantina minimal selama 1 minggu untuk mencegah penularan penyakit.
Jika koi telah berukuran sekitar 10 cm, peternak sudah bisa menjualnya. Sebab, pada ukuran ini, motif dan warna koi sudah terlihat. Namun, konsumen yang juga pehobi biasanya lebih menyukai koi yang sudah berukuran 20–30 cm.
“Nah, peternak umumnya sudah memilih dan menyimpan beberapa ekor yang dinilai bagus untuk calon indukan selanjutnya, atau untuk persiapan show,” ujarnya.
Untuk pemasaran, Comingsoon telah memasok kebutuhan pasar ikan hias dengan cakupan Pulau Jawa, termasuk para pehobinya. Ke depan mereka berusaha melebarkan jangkauan sembari menunggu koi-koi unggulannya siap.
“Sekarang, kami telah memiliki tenaga marketing sendiri. Ini untuk merangkul para penjual ikan hias eceran dan para pehobi. Kami melayani semua segmen. Kalau pehobi membeli koi itu secara satuan, sebab mereka benar-benar memilih mutu ikannya. Sementara itu, pedagang ikan hias lebih sering membeli secara paketan karena harganya bisa lebih miring. Tapi, tentunya sistem paketan itu tidak mengejar mutu, ya,” lanjut Dwiyanto.
Untuk pehobi yang membeli koi secara satuan, harganya cukup “abu-abu”. Pasalnya, pemilik pertama atau peternak bisa lebih menentukan harga. Contohnya, jika ada pehobi melirik bakal indukan milik peternak, di sini akan muncul kesempatan tawar-menawar. Kalau bakal indukan ini dinilai cukup bagus, peternak bisa saja memasang harga tinggi.
“Untuk jenis koi yang sama, pehobi yang membeli melalui Andre atau Dwiyanto bisa mendapat harga yang berbeda. Ini tergantung kesepakatan. Pehobi itu biasanya sudah tahu apa yang mau dibeli,” kata Galih.
Melatih mental peternak
Untuk menjadi breeder, pehobi harus memiliki indukan, fasilitas pemijahan, dan kolam tebar. Kalau punya lahan luas, bisa membuat kolam lumpur untuk menebar benih. Namun, jika lahannya terbatas, bisa membuat kolam semen saja. Ukuran kolam akan memengaruhi berapa banyak indukan yang akan dikembangbiakkan. Di Comingsoon, indukan minimal berukuran 65 cm.
Keberhasilan peternak koi sebenarnya dilihat dari produk unggulan yang dihasilkan, bukan dari seberapa luas kolam yang dimiliki. Jadi, seumpama seorang peternak tidak memiliki kolam sawah, hal itu juga tak menjadi soal. Selama produk-produknya bermutu tinggi, ia akan menjadi rujukan konsumen.
Pemberian pakan juga harus diperhatikan. Untuk mengejar pertumbuhan, digunakan pakan yang mengandung protein tinggi. Sementara itu, merawat warna ikan bisa memakai pakan dengan kandungan spirulina tinggi. Adapun untuk “pemutih” pada koi yang warna putihnya dominan, bisa diberi makan yang mengandung gandum tinggi.
“Pakan untuk merawat warna dan pemutih porsinya lebih sedikit. Pakan pemutih hanya untuk ikan yang berwarna hitam-putih. Pakan ini harganya bervariasi, dari yang 20 ribu rupiah per kilogram hingga 400 ribu rupiah per kilogram. Kalau koi kita mutunya bagus sebaiknya jangan diberi pakan yang murah,” ujar Andre.
Menjadi peternak yang berangkat dari hobi atau dari nol itu, ujar Andre, akan melatih ketangguhan mental pelaku usahanya. Ia bercerita, pernah memiliki 14 ekor indukan, dan ternyata airnya terkontaminasi. Akibatnya, semua indukan itu mati hampir bersamaan. Katakan saja, satu ekor indukan seharga Rp 5 juta, maka kerugiannya bisa mencapai Rp 70 juta.
“Peristiwa seperti itu akan menguji mental kita, apakah lanjut terus atau menyerah. Sebab, ada juga peternak-peternak yang hanya mengandalkan modal besar. Mereka biasanya memang fokus di bisnisnya saja tanpa memahami secara mendalam seluk-beluk koi,” ungkapnya.
Secara finansial, keuntungan menjadi peternak koi itu cukup menjanjikan. Keuntungan lainnya, bisa memilih benih sejak awal. Dari ribuan benih yang dimiliki, bisa jadi beberapa di antaranya tumbuh menjadi koi berkualitas kompetisi. Bagi peternak, hal ini menjadi kepuasan tersendiri.
Saat pandemi seperti sekarang pun, usaha peternakan koi juga tidak begitu terpengaruh. Malah, Comingsoon mengaku mendapat lonjakan permintaan.
“Mungkin banyak orang melakukan kerja dari rumah, ya. Jadi, mereka butuh hiburan atau memiliki sisa waktu untuk menjalani hobi. Apalagi koi itu dikenal sebagai ikan pereda stres, ya,” sebut Dwiyanto.
Membangun kemitraan
Comingsoon juga berusaha terus membangun kemitraan dengan sejumlah kalangan. Tujuan kemitraan ini agar ada lebih banyak kalangan yang bisa menikmati keindahan koi-koi berkualitas. Selain itu, bermanfaat untuk mengatasi keterbatasan lahan.
“Ada banyak pihak yang menawarkan kerja sama. Tapi, kami lakukan seleksi sebab ingin bermitra dengan pihak yang memiliki visi sama. Intinya, tidak hanya mengejar profit. Jika ada petani yang memiliki lahan, bisa bekerja sama untuk menyediakan kolam lumpur dengan standar pemeliharaan koi. Kami menyediakan bibit, pakan, obat-obatan, dan monitoring,” kata Andre.
Itu sebabnya, Comingsoon selalu berusaha mengikuti show atau kompetisi. Tidak hanya untuk mengejar juara, tapi lebih mengarah pada eksistensi brand dan produknya serta membangun jejaring antarpeternak.
“Impian peternak itu, kan, bisa memenangi lomba dengan produk koi yang dihasilkan sendiri, dari usaha pemijahannya sendiri. Sebab, banyak peserta lomba yang mengimpor koinya dari Jepang hanya untuk lomba. Padahal, lomba koi itu tidak ada hadiahnya, sedangkan biaya pendaftaran dan ongkos untuk membawa koi kita cukup mahal,” pungkas Andre.