Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki aplikasi perpustakaan digital pertama di Indonesia bernama iJakarta. Aplikasi ini diharapkan mampu mendorong minat baca masyarakat, terutama di Jakarta meningkat. Aplikasi ini sendiri merupakan sebuah program kemitraan Pemprov DKI Jakarta dengan PT Woolu Aksara Maya.

Kini, iJakarta sudah cukup ramai digunakan. Saat ditemui pada 2016, CEO Aksaramaya Sulasmo Sudharno menyebut, total unduhan aplikasi ini sudah mencapai 35.000 kali, user sekitar 20.000 orang, dan 80 persennya aktif menggunakan. Sementara itu, waktu penggunaannya rata-rata sekitar 2 menit sampai 180 menit.

“Melalui iJakarta, kami berharap bisa menggerakkan budaya baca melalui digital sehingga bisa menjadi budaya masyarakat. Aplikasi ini tidak terbatas untuk masyarakat Jakarta, tetapi se-Indonesia. Mereka bisa meminjam semua buku yang ada di iJakarta, dengan rata-rata waktu pinjam sekitar tiga hari,” ujarnya.

Aplikasi iJakarta, sejatinya merupakan aplikasi media sosial berbasis perpustakaan. Lasmo menjelaskan, pengguna iJakarta bisa juga melakukan sharing, memberikan komentar, hingga mendonasikan sebuah buku.

Donasi buku bisa diberikan ke perpustakaan digital lain yang sudah tersedia di iJakarta. Anda pun bisa membuat perpustakaan digital sendiri di iJakarta dengan terlebih dulu menghubungi pihak iJakarta untuk dibuat sistemnya. Bisa dibuat privat atau umum.

“Jadi, dengan hal ini, semua pihak bisa terlibat. Anda atau pihak lain bisa membeli buku untuk didonasikan, perpustakaan bisa mendapatkan banyak kopi buku yang bisa dipinjamkan. Sementara itu, penulis dan penerbit bisa mendapatkan uang dari hasil donasi tersebut. Semakin banyak buku yang didonasikan, jumlah kopi buku bisa banyak. Selain itu, setiap buku yang didonasikan, nama Anda akan tertulis di dalamnya,”ujarnya.

Lasmo menambahkan, semua buku di sini sudah mempunyai hak cipta dan izin dari penulisnya. Yang jelas, melalui aplikasi ini, semua buku tersebut aman dari plagiasi. Menurut Lasmo, cara ini bisa menjadi sarana promosi untuk meningkatkan penjualan buku fisik bagi penulis dan penerbit.

 

Menyesuaikan dengan masyarakat

Tuntutan perpustakaan digital memang tinggi, tetapi tuntutan tersebut menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan kemampuannya dalam menyerap teknologi. Hal ini dikatakan oleh praktisi perpustakaan sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Agus Rusmana.

Menurut Agus, digitalisasi perpustakaan memang menjadi kebutuhan dan harus dipenuhi, apalagi kalau perpustakaan tersebut punya koleksi yang besar. Hal ini menuntut akses informasi lebih cepat. Beberapa perpustakaan besar sudah mengarah ke digital, Agus mengatakan, misalnya Senayan Library Management System (SLIM) yang sudah diterapkan beberapa perpustakaan. Dia juga melihat sudah ada beberapa aplikasi yang berusaha memenuhi tuntutan itu.

Hanya saja, Agus mengatakan, hal itu seharusnya disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya, perpustakaan di tingkat kecamatan yang disediakan untuk memberikan referensi untuk petani dalam menanam padi.

“Mereka akan canggung untuk menggunakan komputer atau ponsel pintar. Belum lagi, ternyata hal yang mereka butuhkan ada di dalam jurnal dan bahasanya sangat ilmiah. Mereka akan kesulitan. Harus ada usaha lainnya untuk menyederhanakan hal tersebut dan membuat mereka lebih dekat dengan teknologi dulu,” ujarnya.

Agus mengakui, perpustakaan digital menghemat ruang dan biaya, kecepatan pelayanan meningkat, dan pengembangan koleksi lebih mudah. Namun, tentu ada kendala untuk melakukan digitalisasi. Agus mengatakan, infrastruktur internet masih belum baik di setiap daerah. Selain itu, proses mendigitalisasi koleksi buku bukanlah hal mudah, butuh waktu yang panjang apalagi kalau koleksi bukunya sangat besar.

“Namun, perpustakaan digital jangan dianggap bisa meningkatkan minat baca secara langsung. Kalau meningkatkan kualitas akses informasi untuk mengambil keputusan atau produksi karya tulis ilmiah, itu bisa. Minat baca berkaitan dengan membaca buku. Buku cetak lebih bernilai “membaca”, sedangkan digital lebih berkesan “mencari informasi”. Jadi, koleksi digital akan diakses lebih banyak setelah seseorang punya minat baca,” pungkas Agus. [VTO]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 Mei 2016