Pukul 8 malam. Gelap sudah sejak tadi merungkup Meru Betiri, Banyuwangi. Area kantor resor Sukamade yang berada di dalam kawasan taman nasional itu minim penerangan. Ramai pengunjung yang berkumpul di depan kantor resor kadang tampak seperti siluet.

Ada sekitar 50 pengunjung. Sedikit orang Indonesia, sebagian besarnya berkewarganegaraan asing. Malam itu, mereka sedang mengharapkan dukungan semesta untuk melihat penyu liar bertelur di habitat alaminya, di Pantai Sukamade.

Sejak lama, Sukamade dengan garis pantai 2,3 kilometer memang menjadi pantai peneluran bagi beberapa jenis penyu, antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Yang paling kerap adalah penyu hijau.

Upaya konservasi penyu di pantai yang berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat kota Banyuwangi ini sudah berlangsung sejak 1970, dimulai dengan pendataan jumlah induk yang bertelur.

Ketika pada 1982 Taman Nasional Meru Betiri resmi dibentuk, Pantai Sukamade dikukuhkan menjadi salah satu wilayahnya. Ini berimplikasi pada peningkatan upaya konservasi. Sejak saat itu, dibangunlah lokasi semi-alami penetasan telur penyu, yang dianggap lebih aman dari jangkauan predator telur.

Sampai saat ini, hampir setiap malam ada penyu yang menepi ke pantai, baik untuk bertelur maupun sekadar observasi, meskipun jumlahnya tidak lagi sebanyak dulu. Jika beruntung, pengunjung akan mengalami perjumpaan dengan penyu, bahkan menyaksikannya bertelur.

Di kantor resor Sukamade, sebelum bersama-sama pengunjung berjalan ke pantai, para jagawana mengingatkan semua yang ada di sana untuk mendukung kondusifnya kondisi bagi para penyu untuk bertelur.

Di pantai, pengunjung mesti menjaga ketenangan dan tidak boleh menyalakan penerangan artifisial seperti senter. Jika ada penyu yang bertelur, hanya boleh ada satu penerangan tambahan dari jagawana, yang akan menyenteri penyu dari belakang.

Penantian

Pantai berjarak sekitar 700 meter dari kantor resor. Para pengunjung melangkah di jalan selebar satu meter dengan penerangan senter. Suara alami hutan menjadi pengiringnya, derik jangkrik atau kersik dedaunan. Debur ombak terdengar kian dekat sampai kita benar-benar tiba di pantai.

Lanskap langit yang tak lagi tertutup rerimbunan pohon menyingkapkan titik-titik terang kartika. Sambil berbisik-bisik, beberapa pengunjung dengan ragu-ragu mencoba menerka rasi bintang dari susunan acak itu. Bau asin laut menggantikan bau lembab tanah dan dedaunan sepanjang perjalanan singkat itu.

Kini, waktunya menunggu. Dalam hening, pengunjung menyebar ke beberapa titik. Sebagian duduk, bahkan berbaring di pasir pantai. Sementara itu, para jagawana menyebar dan mengamati kedatangan penyu.

Sekitar satu jam berikutnya, Ardi si jagawana berbisik, “Sepertinya ada penyu yang akan bertelur.” Ardi dan beberapa jagawana lain memandu pengunjung, membuntuti penyu ke tempatnya menggali lubang.

2107-langgam-penyu_5
2107-langgam-penyu_10
2107-langgam-penyu_12
2107-langgam-penyu_13
2107-langgam-penyu_2

Itu penyu hijau. Lebarnya seperti lebar tubuh orang dewasa, panjangnya sekitar satu meter. Dengan kaki belakang, ia mengungkit pasir dan membuat lubang di titik yang dipilihnya. Setelah ukuran lubang dirasa cukup, penyu itu mengeluarkan satu-satu telurnya. Begitu terus sampai butir terakhir, yang ke-104. Setelah selesai, penyu itu menimbun kembali telur-telurnya dengan pasir.

Si penyu tidak langsung kembali ke laut. Ia berjalan dulu ke beberapa titik lain, menggali pasir dan menimbun.

“Ia membuat kamuflase, timbunan palsu agar predator telur tertipu dan tidak memangsa telur-telurnya,” jelas Ardi. Penyu itu kembali ke laut pada tengah malam, diantar dengan khidmat oleh para pengunjung hingga ia berenang dan menghilang di laut lepas.

Pengunjung kembali ke resor dengan tidak banyak bicara, entah lantaran kantuk ataupun masih terpukau dengan pengalaman yang baru saja mereka dapatkan. Begitu sampai di kantor resor, Linda, pengunjung dari Belanda yang datang bersama dengan suami dan anak-anaknya, mengudar rasa kepada para jagawana.

“Kami sering berwisata dan baru kali ini mendapati pengalaman seperti ini. Melihat penyu liar bertelur di habitatnya benar-benar menakjubkan. Dan, kalian, dalam kesederhanaan seperti ini, menunjukkan komitmen yang sangat tinggi untuk merawat habitat penyu dan lingkungannya. Kami benar-benar mengapresiasi. Terima kasih, terima kasih,” katanya.

Jam digital di ponsel yang tidak bersinyal menunjukkan, sudah hampir pukul 1 dini hari. Para pengunjung kembali ke penginapan. Di pantai, beberapa jagawana masih mengamankan telur penyu untuk kemudian dibawa ke hatchery (tempat peneluran semi-alami) di kantor resor.

Nun di kedalaman laut, penyu hijau yang baru saja bertelur mungkin tengah menanti. Di laut yang sama suatu ketika ia akan bertemu dengan tukik-tukik yang tetas dari benihnya. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]


Mengantar Tukik Bersua Ibu Laut

Sukamade tak hanya mengajak para pengunjungnya mengalami perjumpaan dengan induk penyu yang bertelur pada malam hari. Pagi setelahnya, para tamu boleh turut mengantar tukik-tukik kembali ke laut lepas.

Jika malam hari pengunjung menanti dengan syahdu, kali ini gurau dan tawa kecil lebih kerap terdengar di kantor resor Sukamade. Para pengunjung dengan antusias memegang atau memotret tukik yang sudah dibagikan di dalam ember. Tingkah tukik-tukik memancing gemas. Ada yang masih memejamkan mata, ada pula yang bergas berusaha memanjat dinding ember meski berkali-kali gagal.

Ditenteng para pengunjung dan jagawana, para tukik itu menuju pantai untuk kembali ke habitat asli mereka, lautan. Di pantai itu, para pengunjung melepas tukik dengan jarak sekitar 5 meter dari garis persinggungan ombak dan pasir. Membiarkan tukik melatih instingnya untuk berjalan kembali ke laut.

Perjalanan tukik menyambut ombak terasa sentimental. Seperti mengantarkan seorang bocah kembali ke pelukan ibunya. Entah dengan tertatih-tatih ataupun bergegas, langkah-langkah penyu itu mengarah ke ombak. Sesekali terdengar teriakan girang ketika seekor tukik berhasil berenang dan mengikuti arus ombak sampai jauh.

2107-langgam-penyu_8
2107-langgam-penyu_6
2107-langgam-penyu_7
2107-langgam-penyu_8
2107-langgam-penyu_11
2107-langgam-penyu_3
2107-langgam-penyu_9

Namun, rasa waswas juga kerap menghinggapi wisatawan. Di udara bebas, mata awas elang-elang laut mengincar tukik. Sesekali tukikan tajam elang tepat menyasar tukik yang berenang lambat. Membuat pengantar tukik memekik. Yang lolos dari incaran elang melanjutkan perjalanannya.

Setelah pelepasan tukik usai, para pengunjung Sukamade bisa melihat-lihat area penetasan telur. Secara alami, telur penyu memang dibiarkan di pantai untuk menetas dengan sendirinya. Namun, ancaman predator seperti babi hutan, tikus, ular, musang, atau biawak membuat probabilitas menetasnya menurun. Untuk itu, dibuatlah penetasan semi-alami di area kantor resor Sukamade.

Di area penetasan, telur dipendam di pasir dengan kedalaman 15–20 sentimeter. Masing-masing ember atau bak penetasan dilabeli dengan keterangan identitas telur dan tanggal telur dipindah. Suhu pun dijaga, dalam rentang 26–30 derajat celsius. Telur-telur ini akan menetas dalam 45–60 hari.

Dengan seluruh pengalaman yang diberikan tempat ini, Sukamade lebih tepat disebut tempat belajar ketimbang daerah wisata. Sukamade mengajarkan para pengunjungnya untuk lebih arif. Untuk menyadari bahwa bumi adalah ibu, tempat semua makhluknya hidup berdampingan dengan welas asih. [NOV]

Foto-foto Iklan Kompas/Antonius SP dan Fellycia Novka

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 Juli 2017