Puluhan anak perempuan keturunan Tionghoa berpakaian tradisional berbaris rapi. Mereka menggenggam lampion berwarna merah muda. Senyum selalu mengembang ke setiap lensa kamera yang terbidik ke arah mereka.

Malam itu, mereka berkumpul bersama ribuan warga lainnya untuk merayakan Mid-Autumn Festival di sepanjang jalan Tai Hang, Hongkong. Pertunjukan tarian naga yang dikenal dengan Fire Dragon menjadi sajian utama. Tradisi ini telah dilakukan sejak abad ke-19 sebagai bagian dari kepercayaan untuk mengusir kesialan dari wilayah mereka. Tradisi ini menjadi salah satu tradisi yang tidak bisa dipisahkan dalam rangkaian perayaan Mid-Autumn Festival yang biasanya jatuh pada bulan purnama, tanggal ke-15 pada bulan ke-8 dari kalender bulan. Dalam perhitungan kalender Masehi, biasanya jatuh pada pertengahan September–awal Oktober. Tahun ini, Mid-Autumn Festival jatuh pada 27 September.

Tradisi Mid-Autumn ini awalnya berasal dari Tiongkok. Mereka merayakannya sebagai hari panen yang jatuh pada bulan purnama saat musim gugur berlangsung. Tradisi ini dilakukan sebagai persembahan kepada Dewa Gunung setelah kegiatan panen selesai dilakukan. Kemudian, seiring berjalannya waktu, hari panen ini berubah menjadi sebuah perayaan yang digelar secara besar-besaran.

Inti dari perayaan ini bergeser menjadi pemujaan bulan. Persembahan diberikan kepada Dewi Bulan, Chang’e, yang dikisahkan merupakan istri seorang pemanah andal. Di suatu masa, Bumi mengalami bencana karena sepuluh matahari bersinar secara bersamaan. Sang pemanah, Yi, memanah sembilan matahari, meninggalkan satu untuk memberikan penerangan kepada Bumi. Kehebatannya membuat ia memperoleh cairan keabadian. Namun, Yi tidak mau hidup abadi tanpa istrinya. Jadi, dia meminta istrinya untuk menyimpan cairan itu.

Salah satu anak buah Yi, Peng Meng, mengetahui rahasia tersebut. Saat Yi pergi berburu pada 15 Agustus kalender bulan, Peng Meng datang ke rumah Yi dan memaksa Chang’e untuk menyerahkan cairan tersebut. Chang’e menolaknya dan menelan cairan tersebut, lalu terbang ke langit. Dia memilih tinggal di Bulan agar bisa tetap mengawasi suaminya di Bumi. Saat mengetahui hal tersebut, Yi merasa sangat sedih dan mempersembahkan buah-buahan dan kue-kue kesukaan istrinya. Persembahan inilah yang masih terus dilakukan sebagian warga keturunan Tionghoa hingga saat ini.

Berkumpul bersama keluarga

Di kehidupan modern, Mid-Autumn Festival lebih berfokus pada aktivitas melihat bulan purnama bersama keluarga sembari menyantap kue bulan. Ini sebagai simbol keharmonisan dan persatuan. Di beberapa negara, tradisi membakar dupa yang ditujukan kepada Chang’e masih rutin dilakukan.

Oleh karena cukup bermakna, hari perayaan ini menjadi hari libur nasional. Warga biasanya akan berjejal di jalan-jalan, menyaksikan pesta lampion atau tarian barongsai. Di beberapa jalan, pasar malam dadakan pun turut meramaikan festival.

Di Taiwan, para warganya merayakan festival ini dengan berbarbekiu ria bersama keluarga dan teman. Pada 2011, pemerintah Taiwan menyediakan 11 titik barbekiu yang bisa digunakan untuk umum. Di Hongkong, memberikan kado berupa kue bulan ke kerabat adalah hal wajib walau harga yang harus dibayarkan untuk sekotak kue bulan mencapai 40 dollar AS.

Korea Selatan juga memiliki tradisi unik berkaitan dengan Mid-Autumn Festival yang lebih dikenal sebagai Chuseok. Dirayakan selama tiga hari, warga Korsel biasanya melakukan kunjungan ke kerabat yang lebih tua dan mengunjungi makam leluhur. Tradisi beolcho, membersihkan nisan dari ilalang liar, selalu dilakukan. Santapan wajib selama festival ini adalah songpyeon, kue beras berbentuk bulan sabit yang dikukus dengan daun pinus.

Tak berbeda jauh dengan Mid-Autumn Festival ala Tionghoa, Jepang juga memiliki tradisi yang hampir sama. Tsukimi atau Otsukimi diadakan dalam rangka menyambut bulan purnama pada musim gugur. Tradisi ini mengambil akar dari tradisi Mid-Autumn Festival Tionghoa yang diperkenalkan kepada Jepang sekitar 1.000 tahun yang lalu. Saat perayaan berlangsung, orang Jepang biasanya menggunakan pakaian tradisional dan pergi ke kuil untuk menyalakan dupa. Anak-anak biasanya mendekorasi pintu rumah mereka dengan sejenis rumput sebagai simbol keberuntungan dan kebahagiaan.

Tak ketinggalan, Vietnam juga punya tradisi unik untuk merayakan keindahan bulan purnama di musim gugur. Festival Tet Trung Thu berfokus pada anak-anak. Mereka akan melakukan parade di bawah sinar bulan purnama, membawa lampion berbagai bentuk dan warna. Dongeng tentang legenda Cuoi menjadi pertunjukan wajib yang harus diikuti anak-anak.

Orang Vietnam kuno percaya bahwa anak-anak memiliki jiwa murni, memiliki koneksi yang erat dengan “alam lain”. Dengan mendekatkan diri kepada anak-anak, membukakan jalan untuk bisa berhubungan dengan dewa-dewi. [DLN]

noted: Perayaan Mid-Autumn Festival di Berbagai Negara AsiaÂ