Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, ada sekitar 3,1 juta anak di dunia yang meninggal akibat kekurangan gizi setiap hari. Kebanyakan dari mereka berusia di bawah lima tahun. Gizi buruk masih menjadi ancaman utama pada kehidupan lima tahun pertama seorang anak, yang sesungguhnya bisa dihindari meski membutuhkan kerja sama dari seluruh pihak secara serempak.

Indonesia juga menghadapi isu serupa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, prevalensi gizi kurang pada balita bersifat fluktuatif. Sempat menurun pada 2010 (dibandingkan tahun 2007) menjadi 17,9 persen,  pada 2013 kembali meningkat menjdi 19,6 persen. Masalah stunting atau pendek pada balita pun masih mencapai angka 37,2 persen secara nasional. Persoalan pemberian pangan dan gizi sesuai kebutuhan bayi, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, masih memerlukan penanganan tepat untuk menekan angka gizi buruk pada anak.

Kurang gizi yang dialami anak-anak di bawah usia dua tahun dapat berdampak signifikan. Selain mudah sakit, perkembangan tubuh hingga dewasa tidak optimal, kemampuan motorik rendah, produktivitas rendah, sehingga kemampuan daya saing pun kurang. Edukasi mengenai asupan gizi dan nutrisi pada usia emas anak masih terus ditekankan untuk menekan hal tersebut. Badan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) pun menjadikannya isu global dengan menetapkan Hari Pangan Sedunia tiap 16 Oktober.

Peringatan ini menjadi momentum untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Setiap orangtua, dewasa ini, dituntut untuk lebih kritis dalam memilah dan mencermati asupan gizi sesuai tahapan tumbuh kembangnya. Persoalan gizi buruk karena toh pada kenyataannya tak hanya ditemui di kota-kota terpencil. Anak balita di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bogor juga masih banyak mengalaminya. [ADT]

foto: shutterstock

noted: penuhi gizi buah hati