Fotografi tidak hanya soal merekam yang ada di dunia nyata, tetapi juga seni yang dalam pembuatannya sering kali membutuhkan proses yang kompleks. Seiring waktu, fotografi dan karya turunannya semakin menarik untuk dilihat dan diamati karena punya nilai dokumentasi yang tinggi tentang momen, sejarah, dan tentu saja keindahan.

Lewat foto, banyak orang berupaya membuat foto yang indah. Tidak hanya untuk menghadirkan impresi visual, tetapi juga mendulang prestasi lewat ajang bergengsi. Salah satunya, salon foto.

Seperti namanya, salon foto adalah lomba foto yang bertema keindahan. Di luar negeri, misalnya di Inggris, ajang tersebut sudah diadakan sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sementara itu, di Tanah Air lomba salon foto Indonesia pertama kali diadakan di Jakarta oleh Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN) pada tahun 1973.

Agatha Anne Bunanta, Ketua Yayasan Art Photography of Indonesia dan Penasehat Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN), yang menjadi chairperson 1st Indonesia Salon of Art Photography tahun 2010 dan 2nd Indonesia Salon of Art Photography tahun 2012 mengatakan bahwa salon foto adalah semua foto yang “cantik” dan bergaya pictorial.

Kategori di dalam salon foto juga ada beberapa. Misalnya, travel, warna, dan monokrom, nature yang masing-masing tentu penilaiannya berbeda. Contohnya untuk travel tidak diperbolehkan adanya manipulasi foto, demikian pula pada nature. Berbeda dengan kategori warna yang lebih terbuka sehingga diperbolehkan manipulasi foto seperti “alter reality (mengubah kenyataan),” kata Agatha.

Prestasi

Salon foto adalah hajatan bergengsi. Pasalnya, ajang tersebut sama sekali tidak memberikan hadiah berupa uang. Mereka yang menjadi jawara adalah murni karena mutu fotonya yang kemudian diberi ganjaran berupa penghargaan dari lembaga foto yang diakui dunia seperti Photographic Society of America (PSA), Federation Internationale de l’Art Photographique (FIAP), Global Photographic Union (GPU), dan The Royal Photographic Society (RPS).

Gelar yang dimaksud misalnya Grand Master – PSA, APSA, EFIAP/p, dan GPU-Cr4 seperti yang dimiliki Agatha menjadi sebuah bukti bahwa sang penyandang gelar memiliki kemampuan fotografi yang tinggi.

“Untuk bisa mendapatkan gelar tersebut, seseorang bisa mengikuti ujian portofolio atau dengan mengikuti salon foto internasional. Fotografer Indonesia sendiri banyak yang mempunyai kemampuan yang bagus di fotografi, tetapi banyak juga yang merasa rendah diri saat tahu peserta lain datang dari negara-negara lain. Padahal, ini bisa jadi ajang untuk memperluas wawasan dan introspeksi,” kata Agatha.

Meski memberikan banyak hal positif dalam dunia fotografi di Indonesia, salon foto internasional terkendala oleh beberapa hal. Misalnya, biaya yang sangat besar, terutama untuk pembuatan katalog. Namun, seperti dikatakan Agatha, bukan berarti tidak ada lagi ajang foto internasional di Tanah Air. Masih ada seperti Cross Continental Circuit (CCC), lomba salon foto internasional yang diadakan Yayasan Art Photography of Indonesia.

Lomba yang merupakan kerja sama dengan komunitas foto di tiga negara yaitu Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat ini adalah lomba salon foto internasional jenis circuit yang dinilai secara simultan dengan materi lomba yang sama, dan sistem penjurian yang sama, pada saat yang hampir bersamaan di tiga negara tersebut.

Terakhir dihelat akhir 2016, lomba yang diakui oleh PSA dan GPU ini memilih foto terbaik dan memberikan 12 medali emas PSA, 12 medali emas GPU, 60 medali emas CCC, dan lebih dari 200 tanda penghargaan.

Berkarya
Fotografer Indonesia telah banyak mengukir karya foto yang apik. Hal tersebut kembali mengemuka antara lain ketika klub foto tertua di Jakarta, Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN) memperingati hari jadi ke-68 pada 14 Mei 2016 di Gedung Candra Naya, Jalan Gajah Mada 188, Jakarta Barat.

Peringatan di gedung yang kini menjadi cagar budaya tersebut seakan membawa kembali nostalgia ke masa puluhan tahun silam. Di gedung inilah tersimpan sejarah penting perkembangan seni foto Indonesia, yaitu tempat diselenggarakannya penjurian Salon Foto Indonesia pertama pada tahun 1973.

Sekadar catatan, kehadiran LFCN tak lepas dari perkumpulan sosial Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) yang di dalamnya ada bagian fotografi yang didirikan Liem Thoan Bo, Goei Joe Liang, dan Oei Tek Hong. Pada 1962, perkumpulan ini mengubah namanya menjadi Perhimpunan Sosial Tjandra Naja.

Dari foto yang dikirimkan, terlihat bahwa sudah sejak lama fotografi di Indonesia menjadi bidang yang serius ditekuni, dengan hasil jepretan apik dari sebuah proses berpikir yang dalam.

“Fotografer Indonesia harus lebih berani berkompetisi di tingkat internasional. Untuk mengasah kemampuan skill, sekaligus belajar berbesar hati,” pungkas Agatha. [ASP]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 April 2017

Foto feature : Fendy Yeoh, Beauty in the crowds