Kompas Klasika berbincang dengan pakar kejiwaan sekaligus staf pengajar Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM Prof Dr dr Irawati Ismail SpKJ(K) MEpid untuk menggali lebih jauh perihal stres pada anak, terutama karena pembatasan sosial (physical and social distancing) yang sedang diterapkan.
Prof Irawati menjelaskan ciri-ciri stres pada anak yang patut diwaspadai orangtua serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah atau mengatasinya.
Secara psikologis, kebutuhan apa yang jadi sulit dipenuhi anak pada masa pembatasan sosial?
Pada masa pembatasan sosial anak kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan kelompok teman sebayanya. Pembatasan sosial dan fisik menyebabkan anak belajar di dalam rumah, sehingga menghambat berbagai aktivitas atau kegiatan bersama dengan kelompok sebaya (peer group), seperti bermain, berolahraga, serta mengerjakan tugas sesuai tahap perkembangannya, baik di sekolah maupun lingkungan sekitar rumah.
Bagaimana pembatasan sosial berdampak pada kesehatan mental anak?
Pembatasan sosial dapat memicu stres bagi anak karena perubahan kehidupan sehari-hari secara cepat dan mendadak. Respons anak terhadap kejadian yang memicu stres ini bersifat unik dan bervariasi karena masing-masing anak mempunyai mekanisme merespons perubahan berbeda.
Apa ciri-ciri stres atau kecemasan pada anak yang patut dipantau orangtua?
Ciri-ciri atau respons stres pada beberapa anak bisa muncul dalam perilaku sehari-hari, seperti anak menjadi rewel, cengeng, menuntut berlebihan, atau meminta dan mencari perhatian terus. Hal lain yang bisa terjadi yaitu anak menjadi sulit tidur atau sulit makan, dan bisa juga mereka menjadi sulit berpisah dengan orangtua atau pengasuhnya. Perilaku tersebut merupakan hal yang wajar sebagai respons dari situasi stres.
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk meringankan stres pada anak akibat pembatasan sosial?
Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan orangtua atau pengasuh untuk meringankan stres pada anak karena pembatasan sosial. Orangtua bisa memberikan respons yang mencerminkan kesungguhan hati menyiapkan diri untuk selalu ada di samping anak-anak saat dibutuhkan. Orangtua sebaiknya memahami bahwa pembatasan sosial bukan berarti isolasi sosial. Oleh karena itu, tetap berikan kesempatan kepada anak dan remaja untuk menjalin hubungan dengan teman-teman mereka melalui video-call, online video-chat, atau menulis surat.
Diharapkan, orangtua dan pengasuh dapat menciptakan situasi kehidupan yang aman, baik secara fisik maupun emosi, dengan memberikan rasa tenteram serta nyaman dan meyakinkan anak/remaja bahwa kebutuhan sandang dan pangan mereka tetap terjamin walaupun dalam kondisi pandemi. Jalani beberapa rutinitas seperti sebelum kejadian pandemi, seperti jam tidur, makan, dan belajar.
Orangtua bisa memberikan informasi terkait Covid-19 sesuai dengan tingkat kemampuan pemahaman anak. Berikan pula kesempatan kepada anak untuk mencari berbagai informasi yang ramah anak terkait dengan Covid-19 melalui buku, media cetak, atau media elektronik. Orangtua atau pengasuh sebaiknya membatasi anak untuk terpapar lebih jauh dengan media sosial, percakapan orangtua terkait Covid-19, atau media elektronik yang kurang atau tidak tepat untuk didengarkan oleh anak karena dapat memicu timbulnya stres atau justru memperberat stres yang ada.
Bantu pula anak untuk meregulasi atau mengelola stres dengan memvalidasi emosi mereka, misalnya mengatakan bahwa kita mengerti bahwa mereka merasa tidak nyaman. Lantas tawarkan alternatif kegiatan, seperti bermain bersama, olahraga ringan, latihan relaksasi, atau membaca buku bersama.
Membuat anak dan remaja menjadi produktif dan sibuk di dalam rumah penting dilakukan, karena ketika mereka bosan, mereka bisa menunjukkan beragam perilaku yang mengganggu dan dapat meningkatkan kecemasan. Latih anak dan remaja untuk membantu dirinya sendiri dan orang di dalam rumah, misalnya melatih mencuci tangan, membersihkan rumah, atau menjadi tenaga sukarela untuk mendukung orang lain.
Untuk menghindari perasaan burn-out atau kejenuhan, orangtua juga sebaiknya menjaga kesejahteraan atau kesehatan jiwa dengan tetap menjalin hubungan dengan teman atau rekan kerja melalui daring atau media sosial yang ada. Menerapkan adanya “me-time” juga penting sehingga bisa merestorasi tenaga yang tersita untuk kegiatan bersama anak dan remaja. Berbagi tugas antara pasangan juga diperlukan sehingga setiap pasangan bisa mempunyai “me-time”-nya masing-masing.
Apakah memberi anak hiburan lewat gawai disarankan untuk mengurangi stres anak? Jika boleh, berapa lama waktu yang dianjurkan?
Memberikan hiburan bagi anak melalui gawai diperbolehkan, tetapi orangtua dan pengasuh tetap memantau, mendampingi, dan membatasi hal-hal yang akan dilihat dan diakses oleh anak. Masa pandemi maupun hari-hari biasa, penggunaan gawai hanya diperbolehkan selama 1 jam dalam sehari dan menonton televisi 2 jam dalam 1 hari. Kegiatan ini bisa digantikan dengan main halma atau congklak bersama, misalnya.
Orangtua sebaiknya tetap memberikan aktivitas yang bermanfaat bagi anak, seperti melakukan hobi, membantu mengerjakan tugas sekolah, maupun melakukan aktivitas bersama. Untuk anak balita atau usia pra-sekolah, orangtua bisa mengajak anak untuk memasak makan kesukaan mereka.
Anak diperbolehkan membantu mencuci sayuran, menghaluskan bahan masakan yang mudah dan tidak berbahaya. Anak diajak melukis, mewarnai, melipat kertas, bermain gelembung, dan melakukan olahraga ringan yang bisa dilakukan di rumah.
Kapan orangtua disarankan menghubungi psikiater atau psikolog terkait stres atau kecemasan yang dialami anak?
Orangtua disarankan mencari atau menghubungi tenaga profesional kesehatan mental (psikiater atau psikolog) jika anak dan remaja menunjukkan adanya perubahan perilaku atau emosi yang menetap dan berkepanjangan. Pelayanan kesehatan jiwa bisa diakses melalui daring jika tidak memungkinkan untuk bertatap muka secara langsung.
Baca