Ketika diminta menyebutkan nama pahlawan wanita di Indonesia, siapa yang langsung tebersit di benak? Mungkin Kartini atau Cut Nyak Dien. Namun, ada banyak nama pahlawan lain dengan kisah yang juga menggugah. Berikut ini lima di antaranya.
1. Nyi Ageng Serang (Jawa Tengah)
Ahli strategi perang yang bernama lengkap Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi ini lahir di Serang, Purwodadi, pada 1752. Ketika usianya paruh baya, pada awal abad ke-19, Belanda menyerang tanah Jawa dan banyak merampas tanah rakyat. Inilah pemicu Perang Diponegoro (1825-1830).
Dalam perang itu, Nyi Ageng Serang berkontribusi untuk berjuang. Selain turut mengatur strategi perang, antara lain dengan mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai penasihat dalam siasat perang, ia juga terlibat memimpin pasukannya dalam perang gerilya di Desa Beku. Usianya kala itu 73 tahun!
Nyi Ageng Serang terus berjuang sampai sisa-sisa terakhir tenaganya. Namun, karena fisik terus melemah, ia kemudian undur diri dari medan pertempuran. Ia wafat pada umur 76 tahun lantaran sakit.
2. Martha Christina Tiahahu (Maluku)
Martha adalah pejuang yang gigih mempertahankan kedaulatan bangsanya dengan berperang melawan penjajah. Putri dari Kapitan Paulus Tiahahu ini sejak kecil sudah kerap ikut ayahnya dalam rapat pembentukan kubu pertahanan. Instingnya untuk berjuang pun kian lama kian tertempa.
Catatan perjuangan perempuan kelahiran 4 Januari 1800 ini, antara lain memimpin pejuang wanita dalam misi perebutan wilayah Belanda di Desa Ouw, Pulau Saparua. Posisi Indonesia sempat menguat dengan terbunuhnya seorang pemimpin perang Belanda di tangan Martha.
Namun, setelah itu serangan penjajah kian gencar dan ayah Martha ditangkap. Martha juga dihukum dan hendak diasingkan ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan menuju Jawa pada Januari 1818 itu, ia wafat. Oleh penjajah, jasadnya dibuang ke lautan.
3. Raden Dewi Sartika (Jawa Barat)
Kiprah Raden Dewi Sartika paling menonjol di bidang pendidikan. Perempuan kelahiran Bandung 1884 ini sejak belia telah mengajari para perempuan di kotanya membaca, menulis, memasak, dan menjahit. Ia kian menyadari, betapa penting bagi perempuan untuk menjadi terdidik.
Pada 16 Juli 1904, istri Raden Kanduruan Agah Suriawinata ini mendirikan Sakola Istri atau Sakola Perempuan, yang namanya kemudian berganti beberapa kali. Sempat menjadi Sakola Keutamaan Istri dan akhirnya menjadi Sakola Raden Dewi. Di sekolah yang didirikannya, selain dididik menjadi ibu rumah tangga yang terampil, para perempuan juga dilatih untuk mandiri.
Dewi Sartika pun menjadi tokoh pendidikan yang cukup dikenal. Pada 16 Januari 1939, pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa kepadanya atas upayanya memajukan kaum perempuan.
Baca juga :
- Kartini, Penentang Feodalisme dan Pejuang Kesetaraan Pendidikan
- Pong Tiku, Pahlawan Nasional dari Tana Toraja
4. Maria Walanda Maramis (Sulawesi Utara)
Maria Walanda Maramis yang berasal dari Minahasa adalah sosok yang progresif. Perempuan kelahiran 1 Desember 1872 ini memperjuangkan pentingnya edukasi untuk perempuan dan mengkritik tradisi atau aturan adat yang tidak memerdekakan perempuan.
Perjuangannya itu diejawantahkan dengan mendirikan perkumpulan perempuan yang diberi nama Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya, yang disingkat PIKAT. Perkumpulan yang sekaligus sekolah ini memberikan pendidikan, antara lain tentang kerumahtanggaan, pertolongan pertama pada kecelakaan, dan bahasa Belanda. Tak hanya di Minahasa, jejaring sekolah ini lantas meluas ke Gorontalo, Poso, Donggala, Makassar, bahkan Pulau Jawa dan Kalimantan.
Rasa nasionalisme Maria yang besar juga terungkap dari anjurannya kepada teman-temannya untuk sebisa mungkin menggunakan bahasa Melayu ketika berpidato atau bercakap-cakap dengan orang asing. Sebagai bentuk diplomasi, Maria juga selalu mengenakan pakaian daerah, kain, dan kebaya putih.
Ia juga berperan besar dalam bidang politik. Kiprahnya antara lain menyangkut vrouwenkiesrecht, hak pilih dan dipilih bagi perempuan. Ia menulis banyak artikel tentang ini yang dimuat di koran setempat. Usaha membuahkan hasil, pada 1921 datang keputusan dari Batavia yang memperbolehkan perempuan memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad.
Hasil perjuangannya bahkan terus terasa hingga setelah ia berpulang pada 1924. Pada 1930-an, perempuan diberi kesempatan untuk duduk dalam Locale Raden atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
5. Rasuna Said (Sumatera Barat)
Karakter yang vokal dan tak kenal takut sangat menonjol pada Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Ia lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Barat. Rasuna Said aktif di Sarekat Rakyat, organisasi yang kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.
Rasuna kerap menyerukan kritik-kritik tajam terhadap Belanda. Karena hal itu, Belanda memenjarakannya pada 1932. Ia juga tercatat sebagai perempuan pertama yang mendapat hukuman speek delict, hukuman dari pemerintah Belanda untuk mereka yang berbicara menentang Belanda.
Rasuna mengalami langsung masa-masa perjuangan menjelang kemerdekaan Indonesia. Sampai setelah Indonesia merdeka pun, Rasuna masih memberikan sumbangsihnya. Ia aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia.
Setelahnya, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Lantas menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Nah, itu tadi beberapa pahlawan perempuan Indonesia yang pada mereka kita patut berterima kasih. Semoga kita kian kenal dengan kisah perjuangan mereka, ya!
Baca juga: