“Bau apa, ya?” Anak perempuan berkepang dua itu mencium bau tak sedap dari depan rumahnya.
Aruni keluar dari rumah dan menuju ke bak sampah di depan rumahnya. “Oh, tidak! Kenapa sampah-sampah sebanyak ini belum diangkut?” kata Aruni sambil menutup hidung dan bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.
“Ada apa Aruni?” Ibunya heran.
“Harusnya, Pak Iman tidak membiarkan sampah-sampah di bak sampah rumah kita sampai menumpuk, Ibu?” kata Aruni kesal.
“Mungkin Pak Iman sedang ada sesuatu yang dikerjakan sehingga belum sempat ke rumah kita mengambil sampah,” tanggap Ibu.
“Ada yang mau ikut, Ayah?” Ayah yang sejak tadi memperbaiki kandang ayam tiba-tiba muncul di belakang Aruni.
“Aku mau, Ayah,” sahut bocah kelas lima sekolah dasar itu riang.
Setelah ganti pakaian, Aruni menyusul ayahnya di depan. Seketika, rona wajah Aruni berubah. “Kita akan ke mana dengan sampah-sampah ini, Ayah?” kata Aruni setelah melihat ayahnya memegang dua kantung plastik besar berisi sampah.
“Jadi ikut Ayah apa tidak?” kata Ayah. Aruni pun mengangguk.
Mobil berwarna putih itu meluncur pelan. Lagi-lagi Aruni menutup hidungnya, karena plastik berisi sampah di bagasi belakang mobil masih tercium baunya ke dalam mobil. .
“Kenapa tidak menunggu Pak Iman saja, sih, Ayah?” keluh Aruni.
“Bukankah Aruni terganggu dengan bau sampah-sampah ini? Makanya, sekarang, kita buang,” kata Ayah.
Arumi mengiyakan.
“Sampah yang terlalu banyak menumpuk, memang tidak baik bagi kesehatan. Akan ada lalat-lalat yang bermain di sana. Bisa saja lalat itu hinggap di makanan,” kata Ayah.
Aruni mendengarkan dengan saksama.
“Aku mengerti sekarang, Ayah” Tiba-tiba Aruni terlihat bersemangat. “Aruni tak bisa membayangkan bila tidak ada Pak Iman yang membantu kita.”
“Kenapa memang?” pancing Ayah.
“Pasti orang-orang akan kesulitan dengan sampah yang setiap hari menumpuk. Mana tempat pembuangan akhir, jauh pula.” Aruni menghela napas. “Bukankah Ponorogo punya slogan Resik Endah Omber Girang-gemirang?”
“Nah, itu pintar,” puji Ayah sambil tersenyum.
“Orang seperti Pak Iman adalah pahlawan bagi lingkungan. Beliau rela berjibaku dengan sampah-sampah kotor demi tanggung jawabnya pada kebersihan lingkungan. Jasa mengangkut sampah itu juga pekerjaan mulia dan patut mendapatkan apresiasi,” lanjut Ayah.
Aruni melihat ke arah jendela samping mobil. “Ayah, itu Pak Iman!”
Pria tua itu memakai perban di kakinya, sambil berjalan tertatih membawa gerobak sampah. Aruni menyesal telah berprasangka buruk pada Pak Iman. Rupanya bapak pengangkut sampah itu sedang ada masalah pada kakinya.*
Penulis: Soffa M Minna
Pendongeng: Paman Gery (IG: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita