Salah satu keasyikan saat berwisata ke suatu destinasi adalah mencicipi makanan khas setempat. Bagi kebanyakan lidah orang Indonesia, kuliner khas Malaysia dan Singapura tak terasa asing. Bahkan, banyak di antaranya begitu familiar sebagai menu sehari-hari.

Kangkung belacan, popiah, ayam bumbu kari, laksa, dan masih banyak lagi. Ini hanyalah beberapa irisan menu yang bisa ditemui di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Ya, karena menu-menu ini tak lain merupakan salah satu warisan dari budaya peranakan Babah Nyonya alias peranakan Tionghoa dan Melayu.

Terjadinya asimilasi antara kaum Tionghoa dan Melayu ini telah berlangsung berabad-abad dan menambah kekayaan peta kuliner di negeri setempat. Jejak sejarah mengacu pada era perdagangan yang gencar dilakukan bangsa Tionghoa. Utamanya ketika para pedagang Tionghoa menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan kesultanan Malaka pada abad ke-15.

Untuk semakin mempererat hubungan yang telah terjalin baik, seorang putri bangsawan Tionghoa, Putri Hang Li Po, dinikahkan dengan Sultan Malaka. Sang putri pun bermukim di Malaka, tetapi ia tidak sendiri. Ia datang dengan rombongan besar, yang terdiri atas pembantu-pembantunya, pengawal, bahkan ia membawa sendiri kelompok penghibur dari tanah daratan.

Mereka bermukim di sebuah tempat, yang kini dikenal dengan nama Bukit China atau Chinese Hill, di Malaka. Seiring waktu, rombongan sang putri hidup berbaur dengan masyarakat setempat sehingga lahirlah asimilasi budaya di antaranya. Hasil asimilasi ini tecermin dalam sistem religi, tradisi, hingga kuliner.

Namun, masing-masih wilayah tetap menunjukkan karakter tersendiri. Masakan peranakan di wilayah selatan banyak mendapat pengaruh dari Indonesia. Makanan terasa lebih manis, banyak menggunakan santan, dan bumbu khas Melayu. Sementara di Malaka, makanan Nyonya juga banyak dipengaruhi gaya masak dan budaya Portugis—berhubung Malaka menjadi koloni Portugis selama lebih dari 100 tahun. Di bagian utara, seperti Penang, pengaruh dari negeri tetangga seperti Thailand merasuk dalam penggunaan bumbu. Rasa asam dan pedas banyak bermain di dalamnya.

Itu baru menyebut jenis-jenis makanan utama, belum lagi jika menjelajahi ragam kue atau penganan kecil khas peranakan. Menelusurinya satu per satu pun tak hanya menggugah indera pengecap, tetapi juga membuka pintu apresiasi pada sejarah dan kekayaan budaya. [ADT]

foto: shutterstock

noted: Padu Kaya RasaÂ