Siwi masih kesal. Wajahnya cemberut. Ia belum ingin pulang. Ia baru saja latihan karawitan. Padahal, tadi ia sangat semangat. Apalagi kakek dan neneknya yang baru datang dari Mojokerto ke Malang, tadi menyemangatinya. Bahkan, oleh-oleh kakek nenek berupa onde-onde kesukaannya dibawanya sebagai bekal.

Bagaimana tidak kesal. Teman-temannya tertawa mendengar suaranya. Siwi memang memilih menjadi sinden. Itu lho yang membawakan lagu pada karawitan. Siwi memang senang mendengar sinden kalau sedang nembang. Biasanya ia mendengar kakek yang sering menyetel radionya. Sejak itu, Siwi ingin sekali menyanyi seperti sinden.

Oleh karena itu, saat ada kegiatan karawitan ini, Siwi ikut. Ia mendaftar sebagai sinden. Meski Siwi merasa sulit, ia tidak berkecil hati. Yah, semua pasti berawal dari tidak bisa.

“Siwi tirukan Ibu, perhatikan cengkoknya,” Bu Lila melatihnya dengan sabar. Cengkok adalah meliuk-liuknya suara saat menyanyikan tembang Jawa.

“Bapak pucung, among sirah lawan gembung…,” Siwi berusaha mengikuti contoh dari Bu Lila.  Susah sekali memang.

“Ha-ha-ha,” teman-temannya tertawa. Padahal, Siwi baru menyanyi dua baris.

“Itu bukan meliuk-liuk, Siwi, melainkan terjun bebas. Gubrak,” seru Dido mengolok-olok. Teman-temannya makin tertawa.

Siwi semakin kesal. Dan, itu terbawa hingga pulang latihan. Mereka sih tidak merasakan sulitnya nembang. Bisanya hanya mengolok-olok, gusar Siwi.  Ia masih duduk-duduk dibangku taman kota.  Bekal berupa onde-onde tak ingin disentuhnya.

“Kak,” terdengar suara lirih. Siwi lalu melirik. Seorang gadis kecil berdiri di sampingnya. Badannya kurus.

“Maaf, Kak. Saya belum makan dari tadi pagi,” gadis kecil itu berbicara lagi. Siwi kasihan melihatnya.

“Mau onde-onde?” tanya Siwi. Ia teringat bekalnya.

“Mau, Kak,” gadis kecil itu mengangguk. Kelihatan wajahnya berbinar semangat. Siwi segera memberikan kotak bekalnya. Gadis kecil itu makan dengan lahap.

“Makan saja semua. Tadi, Kakak sudah makan,” kata Siwi lagi.

“Terima kasih, Kak,” gadis kecil itu mengangguk tersenyum.

“Namamu siapa?” tanya Siwi membalas senyum gadis itu. Tiba-tiba hatinya terasa hangat. Rasa kesal dan marahnya perlahan menghilang.

“Nur Baiti. Panggil saja Nung, Kak,” jawab gadis  itu sopan. Suaranya sudah tidak lirih lagi. Rupanya dia tadi sangat lapar.

“Saya setiap hari kerja di sini. Memungut sampah plastik untuk dijual.  Tapi, hari ini saya belum dapat hasil.  Pengunjung taman sepi karena semalam hujan. Padahal, perut saya sangat lapar.”

Siwi sangat senang bisa membantu Nung. Dengan melakukan kebaikan ini, Siwi bisa tersenyum lagi dan melupakan rasa kesalnya. *

logo baru nusantara bertutur

Oleh Tim Nusantara Bertutur

Penulis: Rahmah Bangun

Ilustrasi: Regina Primalita
Penutur: Paman Gery (@paman_gery)