Humaira (18 bulan) tidur lelap di ruang indekos berukuran kira-kira tiga kali tiga meter di daerah Palmerah itu. Perutnya membusung dengan lingkar 61 sentimeter, tak proporsional dengan lengan atau kakinya. Selang nasogastric tube (NGT) terpasang di hidungnya. Pada Desember 2017, Humaira didiagnosis mengalami hepatoblastoma atau kanker hati.

“Wah, Humaira sedang tidur. Kalau tidak sedang tidur, ia ceria, bersemangat, dan aktif sekali,“ kata Theresia Oktariana, perawat dari Yayasan Rumah Rachel yang memberikan asuhan paliatif untuk Humaira. Ia lantas meletakkan boneka ikan yang dibawanya dari kantor Rumah Rachel di sisi kasur Humaira.

“Humaira sebenarnya suka Nemo, tapi karena di kantor tidak ada boneka Nemo, kita bawakan boneka ikan saja,” kata Suster Ana, panggilan akrab Oktariana, sebelum berangkat.

Foto dokumen Dilla Dijali

Asuhan paliatif

Asuhan paliatif barangkali belum terlalu populer di Indonesia. Ini adalah layanan medis, terutama untuk pasien dengan penyakit berat dan serius, yang bertujuan meringankan rasa nyeri dan meningkatkan kualitas hidup.

Asuhan paliatif juga mencakup dukungan di bidang psikososial, emosional, dan spiritual. Rumah Rachel adalah yayasan yang menyediakan layanan paliatif berbasis home care gratis untuk anak-anak, khususnya yang menyandang penyakit kronis seperti kanker dan HIV.

Foto dokumen Dilla Dijali

Pada Juni 2018, Humaira yang berasal dari Lampung dirujuk ke Rumah Rachel oleh dokter yang merawatnya di RS Harapan Kita. Sebelumnya, Humaira sudah mendapat dua kali kemoterapi, tetapi tubuhnya tidak merespons dengan baik. Sejak Juni sampai awal September ini, Suster Ana berkunjung seminggu sekali ke kos yang dihuni Humaira bersama kedua orangtuanya untuk mengecek kondisi Humaira dan menangani gejalanya.

Selasa siang, 31 Juli lalu, Rika, ibu Humaira, bercerita tentang kondisi anaknya. Beberapa hari terakhir Humaira hanya bisa buang air besar sedikit-sedikit. Kadang-kadang ia muntah, dan warnanya agak kuning. Selain itu, Humaira tidak bisa makan atau minum susu dalam jumlah banyak. Dengan simpatik Suster Ana mendengarkan cerita Rika, lalu mengecek kondisi Humaira.

Foto dokumen Kartika Kurnisari

Suster Ana menjelaskan, perawatan untuk Humaira adalah agar ia tidak kesakitan dan tidak mengalami sesak nafas. “Karena pembesaran hati ini bisa menekan diafragma sehingga menimbulkan sesak. Kalau pembesarannya menekan usus, ia juga akan merasa nyeri. Pencernaannya tidak bisa bekerja dengan baik,“ ujar Ana.

Rika sendiri merasa sangat terbantu dengan kunjungan Suster Ana. “Saya merasa mendapatkan dukungan. Ada teman cerita ketika bingung dengan kondisi Humaira. Bayangan saya tentang paliatif pun berubah,“ tutur Rika. Pada 7 September, Rika dan suaminya memutuskan membawa Humaira pulang ke Lampung agar putri mereka lebih dekat dengan keluarga besarnya.

Perlunya ekosistem

Sejak awal berdiri pada 2006, Rumah Rachel berfokus pada asuhan paliatif untuk anak berusia 0–18 tahun, yang diutamakan dari keluarga prasejahtera. CEO Yayasan Rumah Rachel Kartika Kurniasari menjelaskan, “Di Indonesia ada sekitar 700 ribu anak dengan penyakit serius, tetapi hanya 1 persen yang mendapatkan akses untuk layanan paliatif.”

Dalam laporan tentang asuhan paliatif, majalah The Economist juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-53 dari 80 negara dalam hal kualitas kematian. Indonesia memang masih punya pekerjaan rumah besar di bidang kesehatan.

Foto dokumen Dilla Dijali

Rumah Rachel terus bergerak untuk mengupayakan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Selain menyediakan layanan bagi pasien dan keluarganya, Yayasan Rumah Rachel mengadakan pelatihan asuhan paliatif untuk tenaga medis. Sampai saat ini, Rumah Rachel telah memberikan layanan bagi sekitar 600 anak dan total 2.700 anggota keluarga mereka, melatih lebih dari 4.100 tenaga medis dan mahasiswa tentang asuhan paliatif, serta melatih hampir 2.400 relawan untuk membantu orang sakit di komunitas mereka.

Yayasan Rumah Rachel digagas oleh Lynna Chandra karena terinspirasi dari pengalaman mendampingi sahabat karibnya bernama Rachel yang beberapa belas tahun lalu didiagnosis mengalami kanker payudara. Ia melihat, di Singapura, Rachel mendapatkan pelayanan yang begitu baik, nyerinya juga tertangani. Di Indonesia, kondisinya masih begitu berbeda pada waktu itu. Lynna pun mendirikan Rumah Rachel dan mengundang banyak pakar paliatif internasional untuk memberikan pelatihan bagi tenaga medis di Indonesia. Salah satu tantangan di Indonesia, kata Kartika, adalah masih sedikit tenaga medis yang memahami asuhan paliatif.

Foto dokumen Dilla Dijali

“Satu hal lagi yang penting untuk membentuk ekosistem yang lebih terbina adalah adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan nasional. Saat ini, paliatif memang sudah ditanggung BPJS, tetapi terbatas untuk yang diberikan di rumah sakit. Yang belum ditanggung adalah ketika paliatif diberikan dalam bentuk layanan home care. Padahal, agar paliatif bisa bekerja dengan lebih baik dan optimal, sebetulnya pelayanan tidak harus diberikan di rumah sakit. Selain meringankan pasien rawat jalan, ini juga mengoptimalkan penggunaan bed di rumah sakit untuk pasien-pasien yang membutuhkan layanan intensif,” tutur Kartika.

Foto dokumen Alison Hoare

Setiap kisah dari pasien dan keluarganya memantik spirit tentang perjuangan dan kekuatan. Cerita lain datang dari Tyas (14), seorang anak perempuan yang didiagnosis kanker. Karena penyakitnya itu, kakinya harus diamputasi. Ia juga dikeluarkan dari sekolah. Meski begitu, ia tetap memelihara cita-citanya menjadi guru untuk membantu orang lain mencecap pendidikan.

Dalam video yang dibuat Rumah Rachel, ia berpesan, “Jangan menyerah karena penyakit itu tidak bisa menghalangi kita dari masa depan yang kita inginkan.” Asanya tetap menyala. Kita memang tidak bisa menentukan apa yang akan terjadi pada hidup ini, tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita menjalaninya.

Oleh : Fellycia Novka Kuaranita

Foto feature: dokumen Ryner St John

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 September 2018.