Kursi rotan dengan warna dominan hitam yang berdiri kokoh di selasar Indonesia Designer Showcase pada Indonesia Furniture Expo (Ifex) 2017 itu cukup menarik perhatian. Bagian sandarannya tersusun dari kait-mengait antara rotan yang berdiameter besar dan kecil.
Pelapis dudukannya adalah barisan rotan yang berubah rupa menjadi lembaran tenun. Bentuk kursi itu sendiri terinspirasi dari layang-layang koangan—model layang-layang dengan pita di kedua sisinya untuk membuatnya seimbang—dan ikatan talikama yang digunakan untuk mengaitkan bingkainya.
Setiap bagian dari Wottan, nama kursi itu, punya cerita khusus. Sugeng Untung sang kreator kursi tersebut punya banyak kecintaan. Ia terpikat pada rotan, mengagumi tradisi dari pelosok Nusantara, dan memelihara kenangan akan kegembiraan masa kecil. Sebagai desainer, ia meramu cintanya dalam wujud kursi.
Pada 2016, Sugeng terlibat dalam program Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (Ikkon) yang digagas Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Ini adalah program pembinaan bagi para perajin lokal untuk mengembangkan potensi daerahnya. Dalam program ini, Sugeng menjadi ketua tim Ikkon Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia banyak berinteraksi dengan para perajin tenun di Desa Silungkang. Program inilah yang membuat Sugeng melahirkan ide tentang kombinasi tenun dan rotan.
“Pada waktu itu, pasar tenun di Sawahlunto bisa dibilang sudah mencapai titik jenuh. Inovasi juga jarang dilakukan. Saya melihat songket mereka dan mencoba menghibridanya dengan rotan. Perpaduan rotan dan benang ini ternyata bagus,” ujar Sugeng, Senin (13/3).
Tenun berotan dikerjakan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Prosesnya, kulit rotan atau lasio diselipkan ke dalam benang sebagai pakan tambahan dengan teknik cungkil, lantas ditenun bersama dengan benang lain menjadi lembaran kain. Dibandingkan dengan menenun biasa, proses pengerjaan tenun berotan relatif lebih cepat. Ini juga memperluas kemanfaatannya untuk beragam aplikasi, misalnya untuk kap lampu, tirai, tikar, dan tas.
Pada Wottan, Sugeng menggunakan motif saik kalamai untuk pelapis kursinya. “Saik berarti belahan, kalamai itu dodol. Bentuk motifnya seperti potongan dodol jajaran genjang. Ini salah satu motif tertua dari Sawahlunto,” tambah Sugeng.
Dalam mendesain Wottan, yang paling menantang bagi Sugeng adalah membuat bagian sandarannya, dari sandaran lengan sampai punggung. Ia harus melubangi potongan rotan yang besar (pole) dengan sangat presisi dan hati-hati, lalu merangkaikan pole itu dengan memasukkan rotan-rotan yang lebih kecil (core) ke pole, seperti menjahit.
“Saya rasa belum ada yang memakai teknik menembus rangka seperti ini untuk rotan. Saya menamakannya teknik jahit atau sewing technic,” kata Sugeng. Nama kursi itu sendiri, Wottan, diperoleh dari gabungan kata weaving dan rattan.
Pelajari karakteristik
Sejak 2012, Sugeng menekuni desain rotan. Ia berangkat dari potensi rotan yang sangat besar di Indonesia—yang mampu menyuplai 80 persen kebutuhan bahan baku rotan dunia—dan kekuatan kerajinan Indonesia.
“Indonesia, kan, terkenal dengan slow design, misalnya anyam, rajut, atau ukir. Kita juga punya rotan, material yang sangat sustainable karena bisa diperbaharui dalam 3 sampai 8 tahun. Saya merasa ini tanggung jawab saya sebagai seorang desainer untuk mengenalkan rotan ke lingkup yang lebih luas lagi,” ujar Sugeng.
Tentu karakteristik material rotan juga memberi Sugeng tantangan tersendiri. Keistimewaan material ini, bentuknya sudah bulat dan bisa dilengkungkan. Kesulitannya, kelenturan rotan juga membuatnya mudah kembali ke bentuk semula ketika ditekuk, dibandingkan dengan material lain yang lebih statis atau stabil. Lekukan ekstrem juga belum memungkinkan diterapkan pada rotan karena akan membuatnya retak.
“Tekniknya, kita mesti mengakalinya dengan desain. Saya pernah membuat kursi yang saya namakan bencherfly, yang memiliki banyak tekukan. Saya menyiasatinya dengan simpul yang saling menguatkan satu sama lain,” jelas Sugeng.
Sugeng sudah melahirkan banyak desain kursi rotan. Hampir semuanya bertema Indonesia. “Saya selalu ambil inspirasi dari unsur lokal tradisi indonesia untuk diaplikasikan ke dalam kursi saya.”
Sugeng mendesain misalnya Pincuk Chair, kursi makan yang terinspirasi bentuk pincuk sebagai wadah makanan atau Putu Chair yang mengadopsi bentuk rumah gadang dan menggunakan bantal kursi dengan kain bermotif tradisional Sulawesi. Lewat desain-desainnya ini, Sugeng juga kerap memperoleh penghargaan dari beragam kompetisi, seperti Indonesia Furniture Design Award, Reka Baru Desain Indonesia, dan Bravacasa Design Challenge.
Dengan karya-karyanya, Sugeng terus meniupkan napas keindonesiaan dalam furnitur-furnitur rotan. Mengedepankan material lokal, cerita dari pelosok Nusantara, sekaligus keunikan talenta para perajin Indonesia. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 11 April 2017