Maya, Aris, dan Dina berwisata mengunjungi kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur. Mereka bertiga ikut dalam rombongan sebuah biro perjalanan wisata.
Rombongan berangkat sebelum waktu Subuh tiba. Sesampainya di tujuan, rombongan wisata ini langsung menuju ke Kadaluh atau wisatawan lebih mengenalnya dengan sebutan Bukit Kingkong. Di bukit ini, mereka menantikan matahari terbit.
Sekejap penantian, semburat jingga akhirnya muncul di kejauhan. Semua orang yang ada di lokasi menahan napas terkagum-kagum dengan keindahan munculnya sang fajar. Hamparan pasir berwarna kehitaman dan kawah-kawah yang tampak kecil di kejauhan pun mulai terlihat.
Puas menyaksikan keindahan matahari terbit, Maya, Aris, dan Dina segera ikut rombongan menuju ke kawah Bromo. Sesampainya di kaki kawah Bromo, mereka bertiga dibuat terkagum-kagum dengan keindahan panorama di kawah tersebut.
“Wah, besar sekali kawah ini!” Aris berdecak kagum.
“Tahukah kalian, kalau diameter kawah Bromo mencapai kurang lebih 800 meter dan tingginya sendiri mencapai 2.329 meter dari permukaan laut?” ucap Maya.
“Betul. Aku pernah membaca tentang Gunung Bromo. Gunung ini adalah gunung stratovolcano yang masih aktif, lho!” Dina menambahkan.
“Hi…Seraam…. Berarti gunung ini bisa meletus kapan saja, dong?” Wajah Aris kini berubah takut.
“Betul. Tapi, kita tidak perlu khawatir. Pemerintah setempat pasti akan memberikan peringatan dini jika kondisi kawasan Bromo tidak aman dikunjungi,” jelas Dina.
Mereka bertiga lalu ingin mengunjungi Kawah Bromo dari jarak yang lebih dekat. Mereka segera mendekati para penggembala kuda yang ada di lokasi. Dengan membayar sejumlah uang, ketiganya lalu masing-masing sudah duduk di pelana kuda. Kuda mereka masing-masing dituntun oleh seorang gembala.
Maya, Aris, dan Dina sangat menikmati perjalanan dengan berkuda itu. Sesekali mereka mengajak penggembala untuk berbincang. Ternyata menjadi penggembala kuda merupakan hal yang lumrah bagi warga Suku Tengger, penduduk asli di Bromo. Hampir setiap keluarga di sini memiliki kuda sebagai hewan peliharaan.
Saking asyiknya mengobrol, tak terasa mereka sudah sampai di puncak kawah.
“Indahnya pemandangan dari sini!” Mata Maya memandang ke segala penjuru di bawahnya.
Setelah puas berada di puncak kawah, mereka bertiga lalu turun kembali bergabung dengan rombongan biro wisata.
Dalam perjalanan meninggalkan kawasan Bromo, Maya, Aris, dan Dina melihat pemandangan menarik. Karena saat itu sedang ada perayaan budaya setempat, Jaran Kencak. Ini adalah tradisi mendandani kuda, salah satunya untuk menyambut anak laki-laki yang akan disunat. Kuda dihias bak pengantin, dengan perhiasan, pakaian dan bulu seperti merak.
“Ternyata, kawasan Gunung Bromo ini tidak hanya menyajikan keindahan alam, tetapi juga kaya akan unsur budaya yang kental. Senangnya bisa mengunjungi tempat ini,” kata Aris kagum.
Maya dan Dina pun mengangguk. Dengan berwisata, ternyata manfaatnya tak hanya menikmati panorama yang indah, tetapi juga bisa belajar mengenal kekayaan kebudayaan Indonesia yang beragam. *
Penulis: Cempaka
Pendongeng: Kang Acep (yt: acep_yonny)
Ilustrasi: Regina Primalita