Berkunjung ke Malang, jangan sampai tidak mengunjungi Museum Angkut di Kabupaten Batu. Di sini, Anda tidak hanya berfoto dengan desain interior museum dan koleksi yang keren, tetapi juga diajak memasuki “lorong waktu” transportasi. Apa saja yang bisa dinikmati di sini?
Museum Angkut langsung mencuat menjadi buah bibir karena bisa dikatakan merupakan pelopor tempat wisata bertema transportasi di Asia Tenggara. Dengan luas lahan mencapai hampir 4 hektar, museum ini memamerkan kurang lebih 500 jenis transportasi yang pernah dibuat manusia. Dengan lahan seluas ini, Anda harus meluangkan waktu sekitar 2 jam untuk menjelajahinya.
Mayoritas ruang pamer museum ini menampilkan kendaraan roda empat dari berbagai zaman, negara, dan rupa. Menariknya, 90 persen koleksi mobil di sini masih bisa dinyalakan dan dijalankan. Bahkan, koleksi Buick 10 Toy Tonneau keluaran 1910 masih bisa dijalankan. Mobil bersejarah lainnya adalah Ford Model T, mobil Presiden Soekarno. Bahkan, helikopter kepik (helikopter pertama yang dimiliki Indonesia) pun ada.
Namun, tidak seluruhnya merupakan koleksi orisinal. Ada juga koleksi replika, misalnya mobil uap yang terakhir diproduksi pada 1700. Ada juga koleksi replika pesawat kepresidenan Republik Indonesia. Ada juga mobil milik Batman, Batmobile.
Jika Anda baru berkunjung ke museum ini, kemungkinan akan tertegun sejenak dan berpikir saat akan membeli tiketnya. Wajar saja, harga yang dipatok untuk tiket masuk sebesar Rp 100 ribu. Angka ini memang tidak biasa untuk tiket masuk museum di Indonesia. Namun, percayalah, harga itu sepadan dengan pengalaman “menjelajah” di museum ini. Ingat juga, bila bawa kamera selain kamera ponsel, akan dikenai biaya tambahan Rp 30 ribu.
Keliling dunia
Museum Angkut bisa dikatakan sebagai salah satu museum terbaik di Indonesia. Selain bicara soal koleksinya yang terawat, konsep yang dihadirkan pun tidak asal pamer barang. Pengelola museum berhasil menyajikan konsep edukasi yang menarik di dalamnya, yaitu keliling dunia. Anda pasti akan terus berdecak kagum karena selalu ada kejutan-kejutan menanti dalam “perjalanan” di sini.
Setelah disambut dengan beragam koleksi mobil dan motor antik, kereta kuda, hingga helikopter kepik dan meriam antipesawat di hall utama, Anda harus bersiap ke zona selanjutnya. Perjalanan akan dimulai dari zona alat transportasi khas Indonesia. Di sini, Anda bisa melihat beragam kereta kuda dan dokar yang dulu sering digunakan rakyat Indonesia untuk mengangkut barang. Di zona ini Anda juga bisa melihat Tucuxi, mobil listrik buatan anak Indonesia yang sempat mengalami tragedi saat diuji coba.
Sebelum melangkah ke zona selanjutnya, Anda bisa naik satu lantai untuk masuk ke zona Runway 27 Airport. Jika membawa anak, Anda bisa mengajak si kecil untuk merasakan menjadi pilot di dalam kokpit. Anda juga bisa berfoto ria di dalam replika pesawat kepresidenan RI. Nah, perjalanan keliling dunia Anda dimulai setelah zona ini.
Anda akan menjelajah zona Pecinan dan Sunda Kelapa, zona Jepang, zona Gangster Town dan Broadway Street, Zona Eropa (Italia, Perancis, Jerman, Inggris), dan zona Hollywood. Setiap zona benar-benar didesain dengan nuansa sesuai negaranya. Zona Gangster Town dan Broadway Street, misalnya, punya suasana penjara dan mobil-mobil Amerika era mafia, seperti Ford Model A 1930 dan Plymouth Special Deluxe 1948.
Berbeda lagi dengan zona Inggris. Anda akan disambut dengan replika Istana Buckingham. Di dalamnya, ada bus tingkat warna merah untuk wisata khas Inggris dan Rolls Royce Silver Shadow 1976. Sedangkan di zona Perancis, ada replika menara Eiffel mini. Adapun di Jerman, terdapat ornamen instalasi yang menggambarkan tembok Berlin.
Sebagai penutup, pengunjung akan melewati replika koridor kereta api lengkap dengan suara khas roda yang melewati sambungan rel dan “goyangan”-nya. Pada akhir perjalanan, Anda bisa menikmati beragam jajanan di zona Pasar Apung.
“Awalnya, saya pikir kecil, ya. Ternyata museumnya luas sekali. Untuk (harga) tiket segitu, ya, saya pikir worthed. Apalagi koleksinya bagus-bagus, terutama untuk foto-foto,” ujar Ike (39), salah satu pengunjung dari Jakarta. [VTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Agustus 2017