Sejak lima tahun lalu, rute mudik kami sedikit mengalami perubahan. Seharusnya kami pulang ke “rumah candi” (sebutan rumah yang menjadi asal bagi seseorang di budaya Jawa) yang terletak di tengah kampung Besaran 094, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Di rumah tersebut saya lahir (persisnya pasti di rumah sakit), menjalani masa kecil dan berpisah dengan ibu saya di usia 9 tahun.
Ah, memori.
Rumah sejati tak berhenti di bangunan fisik. Perimeter pagar tepian properti. Rumah juga bagaimana kita menggauli lingkungannya. Saya tahu siapa yang ada di depan rumah, dan seterusnya sampai ujung gang. Karena lahir dan besar di sana, maka saya juga menunaikan banyak kewajiban sosial – bergaul – di Besaran. Ini yang tidak pernah tergantikan, entah karena saya terkena virus individualistis urban atau memang itu tugas anak saya nanti mengembangkan jejaring ke lingkungannya kini, di Bintaro.
Pindah rute mudik bukan hal asing. Ayah saya sering berpindah rumah karena tuntutan jabatan. Enam tahun di Magelang kami tinggal di dua lokasi, Mertoyudan dan Mungkid. Lalu kembali ke Temanggung, ayah tinggal di rumah ibu tiri saya di Danurejo, Kedu. Kemudian karena (sempat) terpilih menjadi Bupati Temanggung, beliau pindah ke rumah dinas di kota Temanggung. Dalam kurun itu, saya tidak menyebut semuanya sebagai rumah. Tempat tinggal iya, tapi bukan rumah. Rumah saya tetaplah rumah candi yang ada di Besaran.
Tahun 2012, ayah mendirikan pondok pesantren dan tinggal di daerah Paladan, Kedu. Sekitar 5 kilometer arah utara Parakan. Otomatis ia dan ibu menetap di sana, mendirikan rumah. Kalau tidak salah ingat, tahun 2013 lalu adalah Lebaran pertama kami di Paladan. Ada momen pertemuan keluarga yang membahas ikrar ayah untuk menetap di sana sebagai rumah terakhirnya (not in anytime soon, I hope). Tapi, sekaligus menanyakan keikhlasan kami bila rumah candi berubah status menjadi rumah kakak saya yang tertua.
Tanpa ragu saya bilang iya. Kakak saya yang tertua dan keluarganya selalu tinggal di rumah candi sejak tahun 2004 (bila tidak salah) sejak kembali dari Kefamenanu dan bertugas di Temanggung. Anak-anak ayah yang lain termasuk saya berkelana ke luar kota. Jadi memang siapa yang layak meninggali rumah candi, tanpa ragu tentu kakak saya tertua. Ia selalu menjadi Parakan-native. Bahkan, istrinya yang lahir di Jakarta sekarang berkomunikasi dengan dialek Jawa-Parakan.
Kembali ke ayah, sekarang beliau menikmati tetirahnya di “rumah dinas” Pondok Pesantren Nida Al Quran di Paladan. Saya dan istri juga membeli tanah di sekitar pondok, sebagai investasi spiritual dan simbol komitmen untuk selalu dekat dengan orang tua. Ini adalah penerimaan saya paling sahih atas status rumah candi yang berubah.
Lebaran tahun 2015 menjadi yang pertama bagi kami untuk menikmati 1 Syawal dari Paladan. Suatu pagi kami berjalan-jalan di sekitar dan mendapati lingkungan baru rumah kami, yang – well – not bad at all.
Bulan Juli, at the height of summer (harusnya), suhu udara sedang dingin-dinginnya. Musim yang tepat untuk menanam tembakau bagi warga sekitar. Lalu berjalan pada pagi hari mendapati pemandangan gunung-gunung (Sumbing, Sindoro, dan Perahu) yang di lembahnya terbentang karpet ladang tembakau.
So, this is home. [Helman Taofani]