Istilah “montessori” makin kerap terdengar, terutama di kalangan orangtua kekinian. Tak hanya tersebar dalam wujud tagar di platform Instagram, tetapi juga terpampang lewat spanduk-spanduk besar di institusi pendidikan. Lalu, apa yang membedakan sekolah berbasis montessori dengan sekolah umum?
Montessori merupakan metode pengajaran kepada anak-anak yang dipelopori oleh pendidik dari Italia bernama Dr Maria Montessori pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Metode pendidikan ini menegaskan bahwa pendidik (educator) bukanlah sebagai pusat (center). Segala aktivitas berorientasi pada anak. Pendidik perlu mengobservasi dan memperhatikan ketertarikan si kecil. Nantinya, anak-anak belajar sesuai dengan dorongan dan minat diri sendiri.
“Sekolah-sekolah biasa lebih banyak menerapkan teacher centered. Guru menjelaskan di depan kelas dan anak-anak hanya mendengarkan. Sedangkan sekolah yang menerapkan montessori, children centered. Anak-anak yang lebih aktif belajar. Idealnya, mereka mendapatkan kesempatan eksplorasi lebih jauh,” jelas Henderina Corry selaku praktisi montessori yang memulai karier sebagai guru di sekolah berbasis montessori sejak 1997.
Anak-anak harus diberi “jembatan” lebih dulu dalam mempelajari sesuatu karena kesulitan memahami hal abstrak, misal mengenai angka. Harus ada hal-hal konkret yang bisa dipegang atau dirasakan.
Corry memberikan ilustrasi, “Saat mengenalkan angka 2, kita tidak langsung mengajaknya menulis angka 2. Apa, sih dua? Memangnya, angka dua ada di mana? Kita beri pengantar dengan mengajarinya berhitung. Mengambil 1 pensil, lalu ambil pensil kedua. Bisa juga dengan tepuk tangan atau lompat 2 kali. Kita kenalkan konsep-konsep atau aktivitas yang menunjukkan angka 2.”
Setelah memberikan pengantar, pendidik dapat mengenalkan angka 2 dengan aparatus montessori Sandpaper Letter. Alat peraga montessori ini membantu anak untuk merasakan angka 2. Jarinya mengikuti lekukan angka dua dan merasakan “tekstur pasir” pada angka tersebut. Semua dilakoni secara bertahap hingga pada saatnya nanti sang anak belajar menggunakan pensil.
Pembelajaran yang bertahap dalam montessori memang membutuhkan usaha yang lebih bagi para pengajar. Ekstra sabar dan telaten. Guru juga dituntut untuk lebih kreatif serta mencari tahu cara-cara yang bisa membantu anak lebih mudah memahami sesuatu. Memastikan bahwa kegiatan itu menyenangkan bagi anak-anak, bukan paksaan.
Bukan “franchise”
Berdasarkan pengamatan Corry, keberadaan sekolah berbasis montessori belumlah begitu marak pada 1997. Tren semakin terlihat ketika mulai memasuki 2010. Beberapa tahun belakangan ini, para orangtua dan penggiat montessori pun semakin menaruh perhatian. Namun, masih ada hal yang ingin ditegaskan oleh Corry. Montessori adalah filosofi. Metode ini bisa diterapkan untuk beragam kategori usia anak, mulai dari usia 0 hingga 24 tahun.
“Meski tidak menggunakan aparatus, kita tetap bisa membantu anak dalam memahami sesuatu asalkan tahu filosofinya. Contohnya, anak usia 1,5 tahun mulai mengembangkan motorik halus dengan belajar pakai sepatu sendiri atau makan sendiri. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan peralatan sederhana. Perlu diingat, montessori bukanlah franchise. Siapa saja boleh menerapkannya. Tiap sekolah berbasis montessori sebaiknya mempunyai sumber daya mumpuni,” jelas Corry yang juga dikenal sebagai pendiri ACTS Montessori dan trainer montessori untuk guru dan orangtua.
Idealnya, sekolah berbasis montessori juga wajib memiliki staf guru yang sudah dibekali dengan pelatihan baik mengenai prinsip montessori maupun penggunaan aparatus. Lebih baik lagi, sang pemilik juga memahaminya. Sayang sekali jika pihak sekolah telah memiliki peralatan lengkap, tetapi tidak menjadikan filosofi montessori sebagai pegangan. Bagaimana pun, manfaat montessori akan lebih terasa apabila kita menerapkannya dengan tepat. [GPW]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 27 Juni 2017