Laju perubahan iklim kian cepat dalam rentang beberapa tahun belakangan. Untuk memitigasi hal ini, dibutuhkan pendekatan berbasis alam yang disebut dengan solusi iklim alami atau Natural Climate Solutions (NCS).

Pada Mei 2019, Observatorium Mauna Loa di Hawaii mencatat bahwa konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah melewati ambang batas iklim untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia. Kadar CO2 waktu itu mencapai 415 per juta bagian (ppm). Sebagai perbandingan, pada zaman es kadar karbon dioksida di atmosfer sekitar 200 ppm, sementara pada periode-periode selingan yang lebih hangat (interglasial), levelnya sekitar 280 ppm.

Sejak revolusi industri, level karbon dioksida terus meningkat akibat masifnya penggunaan bahan bakar fosil. Ini berlanjut terus dan kian memburuk sampai sekarang ini. Pada 2017, level karbon dioksida mencapai 410 ppm.

Karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya membuat kian banyaknya panas yang terperangkap di Bumi dan menyebabkan peningkatan suhu global dan perubahan iklim. Kenaikan suhu global, lautan yang menghangat, berkurangnya lapisan es, naiknya ketinggian permukaan laut, dan frekuensi bencana cuaca yang lebih tinggi adalah sebagian bukti perubahan iklim ini.

Komitmen tekan emisi karbon

Seluruh dunia kini menghadapi persoalan perubahan iklim bersama-sama. Pemerintah Indonesia sendiri berkomitmen menekan emisi karbon dan memitigasi perubahan iklim lewat beragam strategi inovatil. Salah satunya, mengembangkan solusi iklim alami (NCS).

Solusi iklim alami adalah serangkaian upaya mitigasi berbasis alam yang antara lain mencakup perlindungan hutan dan lahan basah; perbaikan pengelolaan hutan; serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove. NCS berpotensi memberikan kontribusi hingga 90 persen dari target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia.

Hal-hal mengenai NCS tersebut menjadi fokus bahasan dalam diskusi interaktif “Solusi Iklim dari Alam untuk Alam” yang digelar Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada Selasa (27/10/2020).

Hadir sebagai pembicara Sarwono Kusumaatmadja dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Diskusi ini juga menghadirkan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan di Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Belinda Margono, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur Ence Ahmad Rafiddin Rizal, dan Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto PhD.

“Indonesia dikenal memiliki kemampuan laten untuk memberi solusi bagi perubahan iklim karena kekayaan sumber daya alamnya. Menjadi rumah bagi hutan mangrove terluas di dunia, hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, dan masih ada aset alam lain—yang meski juga mengalami degradasi—tetapi masih dapat diandalkan. Riset lain mengatakan, jika suatu bentang alam masih utuh, baik di wilayah daratan maupun kelautan, ini akan mampu menahan kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim,” ujar Sarwono.

Mengembangkan potensi alam yang tinggi ini menjadi bagian dari komitmen untuk mencapai target NDC Indonesia. Implementasi solusi berbasis alam pun perlu memperhatikan modalitas dan mempertimbangkan kondisi Indonesia saat ini. Belinda memaparkan, sektor kehutanan memainkan peranan penting karena menanggung sekitar 69 persen dari pencapaian target NDC Indonesia.

Belinda pun sepakat, bekerja dengan alam adalah strategi yang paling pas dengan modalitas yang dimiliki Indonesia. Disebutkan Belinda, di sektor kehutanan ada empat aksi mitigasi utama untuk membantu menurunkan level karbon. Aksi tersebut adalah penurunan deforestasi, penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, rehabilitasi, dan restorasi lahan gambut.

Baca Juga: Beragam Manfaat Hutan Bakau untuk Alam dan Manusia 

Pentingnya kemitraan

Komitmen pemerintah dalam menekan emisi karbon dan mitigasi perubahan iklim tentu memerlukan dukungan dan jalinan kemitraan dari seluruh pihak kepentingan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten. Dalam hal ini, Kalimantan Timur menjadi satu-satunya provinsi yang ditunjuk pemerintah pusat untuk terlibat dalam Forest Carbon Partnership Facility, di mana Kaltim mendapatkan insentif apabila berhasil melakukan upaya mengurangi emisi karbon.

“Sejak 2015, kami juga bekerja sama dengan YKAN membentuk Kawasan Ekosistem Esensial Wehea Kelay seluas 532 ribu hektar, yang kini melibatkan 23 mitra, baik dari mitra pemerintah, korporasi, maupun masyarakat. Tujuannya untuk menjaga habitat orangutan, baik di kawasan hutan lindung, maupun di area konsesi hutan produksi dan kebun sawit,” jelas Rizal.

Diterangkan Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto, peranan setiap pihak amat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim, termasuk pihak korporasi dan masyarakat. YKAN mengajak mitra korporasi untuk mendukung upaya pemerintah, salah satunya dalam upaya perlindungan dan restorasi ekosistem mangrove di bawah program MERA (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance). Masyarakat pun punya peranan penting sehingga YKAN mengembangkan pendekatan Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan (SIGAP).

“Kami berkeyakinan bahwa masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton. Di tingkat desa juga harus dilakukan pembangunan hijau, pembangunan yang selaras dengan alam. Karena masyarakat desa pun sadar bahwa mereka harus melindungi dan melestarikan alam tempat hidup bergantung, tetapi mereka juga membutuhkan pembangunan,” papar Herlina.

Kolaborasi untuk memulihkan alam dan menahan laju perubahan iklim menjadi hal yang tak bisa ditawar. Sarwono pun mengingatkan, “Mitigasi perubahan iklim ini sangat mendesak. Namun, untuk melakukan mitigasi, juga harus melakukan adaptasi. Kita harus bekerja dengan alam dan menerapkan gaya hidup yang merupakan refleksi dari penghormatan kita terhadap alam.”