Belakangan ini, berita tentang penyederhanaan golongan daya listrik menjadi trending topic. Wajar isu ini menjadi hangat mengingat pada zaman modern, listrik menjadi barang kebutuhan pokok.
Wacana tentang kelistrikan selalu menjadi hal kontroversial. Anda yang pernah ikut membayar listrik pasti merasakan bahwa biaya listrik terasa makin bertambah besar. Rumor pun merebak dan mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan biaya listrik termahal di dunia.
Padahal, secara angka, masih banyak negara lain yang harga listriknya jauh lebih mencekik dibanding Indonesia. Laporan International Energy Consultants (IEC) yang dirilis pada Mei 2016 mencatat, rata-rata penggunaan listrik di Indonesia berkisar 7 sen dollar AS per kWh atau Rp 945 per kWh (kurs Rp 13.500).
Angka ini jauh di bawah negara lain, antara lain Jepang sebesar 23,3 sen dollar AS per kWh, Hongkong 15,1 sen dollar AS per kWh, bahkan Malaysia sebesar 8,8 sen dollar AS per kWh.
Namun, tarif listrik di sini masih terlihat besar jika dikomparasikan dengan pendapatan per kapita Indonesia. Negara seperti Jepang, Amerika Serikat, atau Malaysia sudah memiliki pendapatan per kapita yang lebih besar dari Indonesia.
Belajar dari India
Mari sejenak melihat ke India. Negara dengan jumlah populasi terbesar kedua dunia ini berhasil menjadi negara dengan harga listrik paling murah di dunia.
India memang sudah lama berusaha menggantikan pembangkit listrik konvensional untuk memasok listrik kepada masyarakatnya. Pembangkit listrik tenaga surya menjadi pilihan dan semakin populer. Sebab, ongkos produksinya sangat rendah.
Melansir dari The Guardian, dalam lelang tender listrik pemerintah di India, ada dua perusahaan pembangkit listrik tenaga surya menawarkan harga 2,62 rupee atau setara dengan Rp 543 per kWh. Ini lebih rendah dari tender listrik tahun lalu yang berada di angka 4,34 rupee per kWh.
Bandingkan dengan Indonesia yang biaya listrik untuk tenaga surya masih sangat mahal, yaitu 15 sen dollar AS atau Rp 1.995 per kWh. Biaya ini lebih tinggi daripada negara kecil seperti Kamboja yang hanya 9 sen atau Rp 1.197 per kWh. Seharusnya, kalau Kamboja saja bisa, kenapa Indonesia tidak mampu?
Analis mengatakan, penurunan harga listrik ramah lingkungan ini karena adanya kepercayaan tinggi dari investor akan usaha Pemerintah India untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Badan Kelistrikan India mengatakan, mengutip dari situs Vice, pembangkit energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin ditargetkan bisa mencapai 175 gigawatt pada 2022.
Biaya listrik yang rendah ini berasal dari komitmen India yang mendukung Perjanjian Paris untuk mengatur tingkat emisi karbon negara-negara dunia. Padahal, awalnya, Pemerintah India sempat tertarik untuk membangun pembangkit listrik tenaga batubara secara besar-besaran untuk untuk menyelesaikan masalah listrik.
Dengan murahnya tenaga listrik ramah lingkungan ini, Perdana Menteri India Narendra Modi berharap bisa mengurangi konsumsi batubara untuk memasok listrik. Sebab, sebanyak 61 persen pembangkit listrik India masih memakai batubara. Pembangkit energi terbarukan hanya sebesar 14 persen. Ini sedikit membuahkan hasil. Tahun lalu, tingkat utilisasi pembangkit listrik tenaga batubara menurun menjadi 60 persen.
Director Institute for Energy Economics and Financial Analysis Tim Buckley mengatakan, faktor penting derasnya aliran investasi di bidang kelistrikan India karena adanya transparansi, kejelasan, dan kepastian soal kebijakan. Menurut Buckley, tiga hal tersebut menjadi esensial karena menyangkut investasi jangka panjang. [*/VTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 November 2017