Membaca adalah hak setiap individu. Ketika daya untuk melihat terbatas sementara sebagian besar buku hanya bisa dibaca dengan mensyaratkan kemampuan visual, hak itu tetap tak boleh dibatalkan. Sebagian orang tekun mengupayakan buku yang aksesibel untuk para penyandang tunanetra.
Buku-buku yang berjajar di dalam lemari itu dijilid manual dari lembaran-lembaran kertas putih. Tak bergambar atau berwarna. Balqiz Baika Utami (10) mengambil salah satu buku dari deretan itu. Ia lantas duduk di sebuah kursi, membuka buku itu. Matanya tak melihat, tetapi jarinya bergerak di atas lembaran kertas dalam irama teratur dari kiri ke kanan. Indera peraba itu peka mengenal titik-titik yang timbul di atas kertas sebagai aksara.
“Bu Vina adalah seorang pengusaha. Ia memiliki sebuah pabrik boneka. Bu Vina mengunjungi pabriknya setiap hari…,†Balqiz membacakan isi buku yang berkisah tentang pengusaha boneka, Senin (16/5) di Bekasi.
Balqiz gemar membaca dan memiliki koleksi buku yang cukup banyak. Dalam pembentukan kebiasaan membaca itu, orangtuanya berperan amat penting. Primaningrum (47), ibu Balqiz, bercerita, ia mengenalkan huruf braille kepada Balqiz sejak usia Balqiz dua tahun.
“Benda-benda di rumah yang kerap dipakai atau disentuh Balqiz, misalnya lemari, kulkas, piring, saya beri label braille,†tutur Prima. Namun, Balqiz memang baru benar-benar diajari membaca setelah usianya empat atau lima tahun.
Upaya itu tidak berhenti pada pengenalan aksara braille. Karena buku braille tidak tersedia di pasaran, Prima mengetik ulang buku-buku anak yang dibelinya, kemudian membawa soft file-nya ke Yayasan Mitra Netra. Di sana, format ketik dalam Microsoft Word itu dikonversi ke huruf braille dan dicetak dengan printer khusus braille. Buku itu lantas dijilid untuk Balqiz sekaligus menjadi koleksi perpustakaan Yayasan Mitra Netra sehingga orang lain pun bisa membacanya.
Selain dengan huruf braille, penyandang tunanetra bisa mengakses buku lewat audio, baik buku audio maupun buku elektronik dalam format e-pub. Buku dalam format e-book lantas dibaca dengan fitur pembaca layar yang sudah tersedia di ponsel pintar atau dengan perangkat lunak Nonvisual Desktop Access (NVDA) untuk desktop.
Diakui penyandang tunanetra Aris Yohanes (31), buku audio dan NVDA sangat membantunya mengakses buku. Terlebih, seiring kemajuan teknologi, makin banyak e-book yang bisa didapatkan lewat beragam situs atau aplikasi.
“Saya sering mengunduh atau membeli buku dari Google Play Book. Saya jadi lebih mudah belajar bahasa Inggris, komputer, atau programming. Saya juga suka cerita silat, cerita detektif, atau novel,†tutur Aris yang berprofesi sebagai programmer ini, Selasa (17/5).
Upaya penuhi kebutuhan
Akses buku untuk penyandang tunanetra memang masih sangat minim. Di Indonesia, Yayasan Mitra Netra menjadi salah satu lembaga yang gigih mengupayakan penyediaan buku-buku yang memungkinkan penyandang tunanetra membaca secara mandiri.
“Salah satu alasan Mitra Netra didirikan adalah fasilitas khusus untuk tunanetra di bidang pendidikan masih sangat terbatas,†ujar Aria Indrawati, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Yayasan Mitra Netra.
Aria yang juga penyandang tunanetra mengenang, ketika masih sekolah dulu, ia harus membuat bukunya sendiri. “Ibu saya membacakan dan saya menyalinnya dalam bentuk braille. Atau, buku itu dibacakan dan direkam di kaset,†kata Aria.
Sekarang, Mitra Netra ingin akses tunanetra terhadap buku menjadi lebih mudah dan murah, maka sekarang yayasan ini memproduksi tiga jenis buku. Buku braille, buku audio digital, dan buku elektronik dalam format e-pub yang bisa dibaca dengan ponsel atau komputer yang sudah dilengkapi perangkat lunak pembaca layar. Masing-masing jenis buku diproses dengan cara yang berbeda-beda.
Untuk memproduksi buku braille, buku harus dijadikan format soft file terlebih dahulu, kemudian dikonversi ke dalam aksara braille dengan software tertentu. Mitra Netra menggunakan perangkat lunak bernama Mitra Netra Braille Converter (MBC) yang diciptakan sendiri pada 1997. Setelah itu, buku dicetak dengan printer khusus braille.
Mitra Netra memiliki perpustakaan yang memuat koleksi buku braille. Penyandang tunanetra juga bisa mengecek judul koleksi lewat situs Komunitas Elektronik Braille Indonesia (KEBI) untuk kemudian meminta judul tertentu dicetakkan oleh Mitra Netra atau lembaga lain yang memberdayakan penyandang tunanetra di wilayah masing-masing di luar Jakarta.
Buku audio digital yang saat ini dikembangkan Mitra Netra berbentuk CD. Buku ini bisa didengarkan dengan perangkat digital talking book player atau komputer dengan perangkat lunak pembaca buku seperti Adaptive Multimedia Information System (AMIS). Dengan perangkat itu, tunanetra dapat memilah halaman atau bab tertentu yang ingin dibacanya.
Sementara itu, buku elektronik dalam format e-pub didesain untuk penyandang tunanetra yang menggunakan komputer dengan software pembaca layar atau ponsel bicara. “Mitra Netra sedang menyiapkan perpustakaan online yang khusus menyediakan buku-buku e-pub yang bisa diunduh gratis. Perpustakaan ini kelak beranggotakan penyandang tunanetra secara individu,†jelas Aria.
Saat ini Mitra Netra memiliki sekitar 2.000 buku braille dan lebih dari 2.500 buku audio digital. Sementara itu, pertumbuhan buku yang beredar di masyarakat mencapai sekitar 10.000 judul baru per tahun. Secara akumulatif, buku aksesibel yang tersedia untuk tunanetra sekarang baru 1–2 persen.
Kerja sama semua pihak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Secara perorangan, kita bisa ikut membantu mengetik atau membacakan buku untuk direkam. Sementara itu, penerbit-penerbit buku bisa bekerja sama dengan Mitra Netra untuk mencetak versi braillenya. Dengan begitu, jendela untuk melihat dunia akan terbuka semakin lebar bagi para penyandang tunanetra. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
noted:Â Mereka yang Membaca Tidak dengan Mata