Setelah dua tahun meraba dunia bisnis, inilah saatnya melakukan re-branding. Kira-kira begitulah yang dilakukan sepatu Ugna. Merasa pemasaran melalui digital yang sebelumnya tak mampu lagi untuk merangkul pasar lebih besar, toko online lebih profesional pun dihadirkan.

“Ugna siap untuk melangkah lebih jauh lagi. Saya pikir, saat ini momen yang tepat,” ujar salah satu pemilik merek yang sekaligus figur publik, Joanna Alexandra (27), saat peluncuran webstore terbaru Ugna, ugna.co.

Dalam membangun merek Ugna, Joanna tak sendirian. Bersama sang sahabat karib, Andreas Sugeng Bakarbessy (27) atau akrab disapa Sugeng, mereka berkolaborasi pada 2012. “Sepatu merupakan salah satu simbol fashion yang digemari, terutama oleh kalangan perempuan tanpa melupakan segmen pria,” ujar ibu dua putra ini.

Berangkat dengan modal di bawah Rp 50 juta dengan menerima pesanan sepatu secara kustomisasi, kini Ugna paling tidak mampu merilis maksimal 15 model sepatu per tiga atau empat bulan. Joanna mengklaim, sekitar 20-30 pasang sepatu terjual setiap bulannya. Adapun nama Ugna merupakan gabungan dari kedua nama sang pemilik merek.

“Pembentukan webstore ugna.co ini secara tidak langsung memperbaiki proses produksi kita. Kalau dulu, kami lebih banyak menerima kustomisasi. Orang datang memesan sesuai keinginan, lalu kita buat. Lambat laun, kita kesulitan untuk memenuhi permintaan, salah satunya karena ukuran kaki dan keinginan setiap orang berbeda-beda. Sekarang, orang yang mau beli yang menyesuaikan dengan produksi Ugna,” imbuh Sugeng.

Ketatnya persaingan di pasar produk fashion, terutama produk sepatu, tak membuat gentar kedua anak muda ini. Menurut mereka, Ugna memiliki diferensiasi yang unik di pasar sepatu. Penggunaan kain lokal yang dipadukan dengan bahan lainnya, seperti kulit atau kain beludru, menjadi kekuatan.

“Dari awal memiliki ide, kami berdua memang inginnya membawa dan memperkenalkan nama Indonesia. Akhirnya kami menggunakan kain tradisional dari seluruh Indonesia, misalnya batik, songket, hingga tenun. Namun, kami memadukannya dengan bahan lain agar bisa diterima lebih banyak masyarakat. Porsi kain tradisional pun 30 persen saja, sedangkan 70 persen dari bahan lain,” ujar Joanna.

Ugna sudah merambah pasar luar negeri, kendati belum menjadi fokus bisnis. Joanna merasa bersyukur kalau produknya bisa diterima dengan baik oleh konsumen di luar negeri, walaupun baru orang Indonesia yang tinggal di luar negeri.

“Dalam satu atau dua tahun ke depan, kami berdua inginnya Ugna memiliki toko sendiri, baik itu stand alone atau masuk ke dalam mall. Ya, kalau bisa masuk ke mall,” pungkas Joanna. [VTO]

noted: merangkum indonesia lewat sepatu

foto: